bc

LENGKARA

book_age18+
636
FOLLOW
5.3K
READ
dominant
goodgirl
powerful
confident
drama
tragedy
bxg
brilliant
first love
superpower
like
intro-logo
Blurb

COVER : MENGGUNAKAN APLIKASI AUTODESK SKETCHBOOK & BANNER MAKER 2019

SERI II : MENEPI

MENGUAK KISAH YANG BELUM SELESAI DARI MENEPI

--------------------------------------------------------

LENGKARA—yang artinya tidak mungkin atau mustahil.

Bagi seorang Alyn, menemukan Genta atau setidaknya mengetahui kabar mantan pacarnya di jaman SMA adalah suatu keharusan untuk menanyakan persetujuan tentang kisah mereka yang akan diangkat ke layar lebar.

Namun, sayangnya menemukan Genta tidak semudah yang dibayangkan bahkan membuat Alyn merasa sangat frustasi. Hingga adanya sebuah grup alumni yang membuatnya mengetahui di mana keberadaan Genta sebenarnya.

Lalu, apa yang akan Alyn katakan ketika bertemu dengan Genta?

Masihkah tidak mungkin ada kebersamaan diantara mereka setelah kalimat, "meninggalkanmu adalah cara terbaikku mencintaimu?"

PENASARAN? MASIH BUTUH PENJELASAN?

SILAKAN UNTUK MENGIKUTI LENGKARA ...

NB : PEMBAHASAN LEBIH BERAT DAN PENYELESAIAN YANG LEBIH MANTAP.

Salam,

Bella :)

chap-preview
Free preview
PROLOG
MENEPI—meninggalkan sesak yang tidak berujung. Satu kalimat paling sakti yang selalu dibuat quotes oleh para penggemarnya dalam setiap unggahan adalah : "meninggalkanmu adalah cara terbaikku mencintaimu". Kalimat sakti yang selalu membuat hati siapapun tergugah, merasa jika kisah itu bisa diperbaiki karena dua tokohnya masih saling mencintai. Sayangnya, kisah itu benar-benar karam, tanpa tahu di mana si cowok yang katanya pergi keluar negeri. Beberapa perempuan menganggap jika tokoh cowok itu terlalu mudah meninggalkan dan tidak mau lagi memperbaiki. Namun, dari sudut pembaca pria, mereka serasa setuju dengan langkah yang diambil oleh si cowok untuk meninggalkan si cewek. Terlepas dari kisah itu, adakah yang benar-benar paham? Tentu saja ada, si tokoh itu sendiri. Menepi memang novel, namun kisah dan tokoh yang ada di dalamnya itu benar-benar nyata. Siapa yang akan melupakan kisah mereka? Siapapun yang berasal dari SMA Garuda Sakti dan tinggal dalam angkatan '52, akan langsung bisa menerka siapa tokoh dalam novel tersebut. Bukankah kisah mereka begitu lucu? Mendebarkan? Bahkan membumi hanguskan pertemanan. Ingat pada Alyn? Genta? Zidan? Tito? Ataukah perempuan yang paling dibenci di kalangan pembaca, Indira? Tanpa mereka, novel itu hambar dan tidak menarik. Tanpa adanya lakon asli di novel itu, mungkin tidak akan menjadi cerita se-menarik itu. Samakah dengan cerita novel remaja pada umumnya? Tentu saja tidak sama, karena ini benar-benar nyata. Dialami sendiri oleh sang penulis, bahkan dengan mempublikasikan cerita tersebut, penulis termasuk membuka aibnya sendiri. Meskipun dengan nama samaran sekalipun, tetap saja akan menimbulkan tanya. Bagaimana cerita itu bisa se-nyata itu? Helaan napas terdengar kasar dari seorang perempuan cantik dengan rambutnya yang ditekuk asal. Pesan masuk ke dalam ponselnya beberapa menit yang lalu, namun sayangnya belum dibalasnya sama sekali. Jujur, dia bingung dengan penawaran itu. "Ralyn?" Namanya 'Ralyna' atau mungkin bisa juga dipanggil, Alyn. Si penulis yang baru sebulan ini menerbitkan novel dengan judul MENEPI, novel mega best seller yang selalu habis dibeli ketika baru hangat-hangatnya dipajang di rak toko buku. Perempuan itu menoleh ke arah sumber suara, "mau makan enggak? Ayo ke kantin bareng." Ajak laki-laki berkulit sawo matang itu. "Enggak deh, mau keluar bentar, ada urusan sama teman." Tolaknya halus lalu diangguki laki-laki itu. Kembali dengan fokus perempuan yang sedang memegang ponselnya sambil bengong. Tentu saja sudah dapat menebak sendiri, siapakah orang ini? Apakah dia tokoh lama atau tokoh baru? Sedang apa dia di sini? Atau mengapa kisah ini harus dilanjutkan sampai kesini? Sungguh, ini rumit dan sulit dijelaskan. Ralyn—itu juga Alyn. Si cewek SMA kumel yang memiliki banyak sekali kekurangan, pernah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari abangnya atau di bully teman sekolah, dan memiliki hubungan yang sangat menyenangkan dengan seorang cowok lucu yang tiba-tiba menghilang. Panggil saja seperti biasa, Alyn. Itu nama pemberian seseorang di masa lalu yang membuat semua teman sekolahnya mudah memanggilnya. Mungkin, jika temannya mau dan sudi memanggilnya waktu itu. Dia tidak sama lagi, waktu se-pu-luh tahun mampu mengubah semuanya. Termasuk dirinya dan pemikirannya. Kemana saja Alyn selama ini? Tentu saja hidup seperti biasanya walau merasa pincang. Goresan di jaman SMA mana bisa hilang dalam satu kedipan mata saja. Ah, berlebihan sekali, sepuluh tahun pun tidak mampu menghapus bayangannya. Senyuman cowok itu, candaannya, kelakuannya, dan semua yang ada pada cowok itu, mempesona. Umurnya sudah memasuki 27 tahun dan selama se-pu-luh tahun dirinya merasa kehilangan atau lebih tepat lagi ditinggalkan. Alyn merasa jika dirinya perempuan paling-paling menyedihkan, namun itu belum tentu. Karena apa? Alyn tidak tahu bagaimana kondisi cowok itu atau mungkin laki-laki itu saja agar lebih terlihat dewasa. Alyn selalu membayangkan, apakah wajahnya masih sama? Apa hatinya juga masih tersimpan ruang untuk dirinya? Berkhayal? Tentu saja Alyn masih suka berkhayal untuk hal satu ini. Dia masih mengharapkan laki-laki itu, sangat mengharapkan. Bodoh? Tentu saja bodoh! Tapi cinta selalu membuat semua hal indah dalam kebodohan. Beberapa bulan belakangan ini, Alyn merasa sangat amat rindu. Rindu yang tidak bisa dia jelaskan bagaimana rasanya. Perempuan itu selalu menatap foto lama laki-laki itu di ponselnya. Foto yang dicarinya dari akun sosial media laki-laki itu yang tidak pernah aktif lagi setelah pindah. Perempuan itu memasukkan ponsel hitamnya ke dalam tas dan segera beranjak dari duduknya. Beberapa langkah keluar dari ruangan, para pegawai rumah sakit menyapanya. Siapa yang tidak mengenal seorang Ralyna Salavina Arin? Perempuan yang beberapa tahun belakangan ini menjadi dokter dan baru dua bulan ini diangkat menjadi kepala UGD yang baru. Alyn berhasil menyelesaikan sekolah kedokterannya selama empat tahun dan dilanjutkan dengan koas di RS Permata Husada-rumah sakit yang saat ini dirinya tempati. Entah nasib atau memang karena usahanya, Alyn berhasil direkrut oleh rumah sakit ini setelah menyelesaikan masa koasnya. Rasanya seperti mimpi jika melihat ke belakang. Betapa sulitnya menjadi Alyn yang seperti ini. Sungguh, kenangan SMA-nya tidak seindah yang dia bayangkan setelah laki-laki itu pindah. Alyn terkadang masih suka merenung dan menatap gang di depan rumahnya, berharap semuanya hanya candaan belaka. Atau paling tidak, kembalinya akan sama dengan cerita novel yang dulu sering dia baca. Namun, sampai sepuluh tahun berlalu, laki-laki itu tidak kembali juga. Atau mungkin, tidak akan pernah kembali. Entahlah, Alyn mengharapkan laki-laki itu kembali padanya. Gentasena Danuarjhi—orang yang selalu Alyn tunggu dan diharapkan menjadi bagian dari masa depannya. Memang, Genta tidak pernah berjanji akan kembali, namun Genta masih berutang penjelasan kepadanya. Mengapa dia pergi tanpa pamit? Setelah kepergian Genta, Zidan dan Tito pun tidak memiliki hubungan yang baik. Mereka berpisah dengan kehidupan masing-masing. Zidan selalu bermain dengan teman satu tim basketnya dan Tito memilih untuk menghabiskan waktunya dengan belajar. Dulu, Alyn sering pergi dengan Tito ke perpustakaan atau menemani Tito kemanapun langkah mereka melaju. Sedangkan Indira, lebih banyak menghabiskan waktunya dengan teman-teman satu kelasnya atau mengobrol santai dengan gema. Seiring berjalannya waktu, Rere dan Zidan putus menjelang kelulusan. Alyn ingat betul bagaimana wajah Rere yang tidak bisa tidur beberapa hari karena Zidan memutusnya dirinya. Mereka semua tahu, hubungan Rere maupun Zidan sudah tidak baik lagi. Mereka mulai saling mengabaikan dan masalah lainnya muncul karena bedanya pendapat. Apalagi ketika Genta pergi, Rere tidak sengaja menyalahkan Zidan. Sehingga mereka bertengkar hebat. Tidak ada yang berani mengganggu Alyn lagi karena si tukang bully sudah lulus duluan. Apalagi ada Gema atau Tito yang sering berjalan bersama dengan Alyn. Ada juga Disha yang selalu menjadi teman Alyn beberapa waktu sebelum lulus. Setelah kelulusan, Alyn mengambil kedokteran—entah mendapat ilham dari mana. Tito tidak jadi mengambil kedokteran dan memilih teknik sipil, Zidan masuk sekolah polisi, Gema pergi keluar negeri untuk kuliah di sana dan Alyn tidak tahu persis apa yang Gema ambil, dan untuk Indira sendiri mengambil sastra Inggris. Tidak ada yang baik-baik saja setelah kepergian Genta. Semua orang yang tidak bisa menerima keadaan sibuk saling menuduh dan akhirnya tidak kembali dekat seperti dulu. Rasanya prihatin melihat beberapa temannya yang awalnya akrab menjadi sangat renggang. "Dokter Ralyn, mau pulang?" Tanya salah satu perempuan yang duduk di meja resepsionis. Alyn yang awalnya melamun hanya mengembangkan senyuman tipisnya ke arah perempuan itu. "Iya nih, mau pulang. Tapi mau nunggu seseorang bentar," ucapnya sambil menatap jam tangannya. Perempuan itu mengeluarkan buket bunga dari dalam laci. "Dok, ini ada kiriman dari Pak Sandika." Alyn menatap bunga itu, bunga yang sudah dikirim banyak kali ke rumah sakit untuknya. Sandika itu adalah seniornya di BEM dulu, padahal Alyn pernah menolaknya namun Sandika tetap tidak goyah. Ketika tidak sengaja bertemu dengannya di bandara waktu itu, Sandika sempat menanyakan tempat kerjanya. Hasilnya? Hampir setiap hari bunga-bunga itu dikirim untuknya. "Udah jadian, Dok?" Tanya perempuan itu dengan wajah menggoda. "Jadian apanya sih, orang cuma berteman doang," elak Alyn yang sebenarnya malas membawa buket bunga itu. Bukan apa-apa, tapi dia tidak tahu harus diapakan bunga itu. Mungkin jika masih bunga hidup, bisa dia pakai menghias taman rumahnya. "Padahal ganteng lho, Dok. Kalau enggak mau, boleh buat saya enggak, nih?" Canda perempuan itu dengan senyuman. Alyn tertawa, "terus, Pak Muhidin mau dikemanakan? Nanti enggak dibawain makanan lagi lho, Mbak." Perempuan itu mengangguk, "oh iya, sayang kalau enggak dibawain makanan." Alyn hanya tertawa, sedikit terhibur dengan bercandaan receh seperti ini. Alyn mengambil buket bunga itu setelah berterima kasih dan berjalan keluar. Alyn tersenyum ke arah pak satpam yang berada di depan pintu, atau pak tukang parkir yang berada tidak jauh dari mobilnya. Perempuan itu sibuk memasukkan buket bunga itu ke jok belakang mobilnya sebelum seorang laki-laki muncul di depannya. "Kirain mau kencan," sindir laki-laki itu. "Apaan sih, Dimas!" Itu Dimas, teman Alyn sejak jaman kuliah dulu. Teman organisasi lebih tepatnya. Sekarang Dimas bekerja di salah satu perusahaan besar dan menjabat sebagai manager bagian pemasaran. Laki-laki yang biasanya menemaninya kemanapun dan orang yang paling tahu tentang masa lalu Alyn. "Jalan yuk? Regan enggak marah 'kan? Atau sekarang pindah sama Sandika?" Goda Dimas yang saat ini bersandar di mobil tetangga. "Kamu enggak bawa mobil?" Tanya Alyn yang sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam mobilnya. Dimas menggeleng, "enggak, supaya bisa nebeng kamu." "Lah, kesininya naik apa?" Tanya Alyn yang tampak tidak percaya. "Naik ojek lah, masa jalan kaki." Alyn hanya ber-oh ria. Perempuan itu berjalan memutar dan duduk di kursi penumpang, menyerahkan kunci mobilnya kepada Dimas. Tidak lama kemudian, mobil melaju cukup kencang. Membelah jalanan dan berhenti di depan sebuah tempat makan pinggir jalan langganan mereka sejak jaman kuliah dulu. "Bang Mur, mi ayam bakso satu, mi ayam ceker satu, teh angetnya dua." Seru Dimas yang langsung diberikan dua jempol oleh laki-laki bertubuh tambun yang menunggu mi-nya masak. Alyn sudah lebih dulu mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Walaupun berupa tikar lusuh yang digelar di pinggir jalan, namun mi ayam ini tidak pernah sepi pembeli. "Kenapa? Masih kepikiran soal Genta-Genta itu lagi?" Tanya Dimas sambil membuka plastik kerupuk kulit. Alyn mengangguk, "mungkin enggak akan lupa kali, Dim." "Perempuan selalu gitu, ya. Walaupun udah disakitin, tetap aja cinta sama laki-laki itu. Gobloknya suka natural gitu ya," sindir Dimas yang mendapat cubitan gratis dari Alyn. "Ralyn, apaan sih!" Kesal Dimas yang mengelus pahanya karena terkena cubitan dari Alyn. "Bodo!" Alyn tidak menanggapi kembali ucapan Dimas. Perempuan itu diam dan menatap jalanan yang lumayan lenggang. "Dim?" Panggil Alyn kepada laki-laki disampingnya yang sedang bermain ponsel. "Hm," dehemnya. "Aku dapat tawaran gitu buat jadiin novelku film," lirih Alyn memainkan jemarinya. "Bagus dong." Jawab Dimas yang mengalihkan pandangan matanya. Alyn menggeleng, "tapi aku enggak bisa langsung setuju karena menurut aku ini masa laluku dan Genta. Apa boleh kalau cerita kami difilmkan di layar lebar?" "Lho, setahuku dunia penerbitan itu sudah pasti memberikan kontrak soal penayangan film. Bukannya sudah pasti kalau penerbit oke, kamunya juga harus oke?" Tanya Dimas. Alyn mengangguk, "harusnya, tapi aku minta perjanjian yang enggak menyangkut film. Mungkin kalau novel 'kan bisa membuat pembaca bereskpektasi sendiri. Tapi, kalau menyangkut film pasti mereka butuh pengarahan aku 'kan? Otomatis adegan-adegan itu akan sama juga. Aku enggak mau itu mengganggu Genta." "Kamu, masih berharap banget sama si Genta itu? Aku jadi penasaran, kaya apa sih laki-laki yang bikin kamu tergila-gila sama dia?" Alyn tersenyum, membayangkan wajah Genta saja sudah membuatnya sangat amat bahagia. Rasanya ingin sekali menatap secara langsung wajah itu dan memeluknya. "Aku harus ketemu dia dulu dan membicarakan semuanya." Kekeh Alyn. Dimas sedikit berpikir, "kalau misal Genta udah berkeluarga, kamu mau gimana, Lyn?" Alyn kehilangan kata-kata, dia tidak berpikir sampai kesana. Lalu, jika memang Genta sudah menikah dan punya anak, apa yang harus Alyn lakukan? "Move on, Ralyn. Sepuluh tahun itu masa yang enggak sebentar. Semua hal bisa berubah, termasuk tentang perasaan. Kamu enggak tahu, apakah dia sudah melupakan kamu atau masih suka sama kamu. Tapi itu jaman SMA lho, Lyn. Udah lama banget," nasehat Dimas. Alyn menghela napas berat, "tapi dia yang bisa menerima masa laluku dengan baik, Dim. Genta tahu kalau aku pernah jadi korban pemerkosaan tapi dia enggak pernah melepaskan aku. Bodohnya, dia punya satu kesalahan yang intinya cuma salah paham aja, aku langsung melepaskan dia. Sekarang, aku menyesal Dim." Dimas mengelus kepala Alyn yang tampak frustasi, "masa lalu, Ralyn. Semua harus berjalan walaupun berat. Gini, kita cari keberadaan Genta dan kamu tanya soal film itu, setelah itu move on." Alyn mengangguk, "oke, aku enggak akan memaksakan perasaan. Kalau memang Genta sudah berkeluarga, aku enggak akan memaksa. Ini cuma karena film." Tapi, hati siapa yang tahu? ###

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.0K
bc

LOVE ME

read
769.5K
bc

MOVE ON

read
94.6K
bc

HURTS : Ketika Hati Yang Memilih

read
112.2K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.8K
bc

Mas DokterKu

read
238.5K
bc

Long Road

read
118.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook