bc

MENEPI

book_age18+
670
FOLLOW
5.9K
READ
family
sensitive
powerful
independent
tragedy
bxg
first love
illness
lonely
multiple personality
like
intro-logo
Blurb

COVER : MENGGUNAKAN APLIKASI AUTODESK SKETCHBOOK & BANNER MAKER 2019

CERITA INI HANYA ADA DI DREAME/INNOVEL.

BACALAH CERITA YANG ORI, BUKAN BAJAKAN.

__________

BLURB :

MENEPI tidak hanya membahas tentang dua remaja SMA yang jatuh cinta. Tetapi Menepi akan menyajikan konflik yang lebih mendalam tentang beberapa aspek yang seringkali dialami remaja.

Genta dan Alyn akan membawa kita ke dalam konflik remaja 17 tahun yang kompleks. Membahas hal-hal yang menarik seperti kasus bully yang biasa terjadi, pemerkosaan, pergaulan bebas, penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Tidak hanya itu, kisah mereka akan dikemas menjadi kisah yang manis layaknya remaja pada umumnya yang sedang dimabuk cinta.

SEPERTI APA KISAHNYA?

SILAKAN MENYELAMI SENDIRI. NIKMATI SETIAP PERTEMUAN PERTAMA KALIAN DENGAN SEORANG GENTASENA DANUARDJI.

____

Salam

Bella

chap-preview
Free preview
PROLOG
Rintikan hujan dengan sedikit petir yang menggelegar. Seorang cowok dengan seragam SMA sedang duduk di salah satu kursi yang ada di kantin. Seragamnya awut-awutan, dasinya miring, dan mulutnya dipenuhi dengan siomay bumbu kacang favoritnya. Sebuah televisi kecil milik Ibu kantin tampak menjadi fokus terbesarnya. Cowok itu menonton serial kartun kesukaannya sambil tertawa-tawa dengan riang seperti anak kecil yang tidak memiliki masalah. "Genta..." Itu namanya, nama yang hampir dikenal oleh semua warga sekolah SMA Garuda Sakti. Cowok bertubuh tinggi dan penyuka gitar itu adalah murid kelas XI IPS 2. Kelas di mana anak-anak bermasalah dijadikan satu. Tidak, Genta tidak terlalu berbahaya atau cowok badboy sekelas anak SMA di novel yang sering diciptakan Ayahnya. Ya, Ayahnya seorang penulis rahasia. Tidak ada yang tahu, hanya dirinya seorang yang tahu jika sang Ayah adalah penulis populer fiksi remaja sampai fiksi dewasa. "Alizidan Baharrudin..." Itu Zidan, teman sekelas Genta. Sekaligus sahabat cowok itu. Mereka berdua adalah satu paket lengkap. Cowok tukang tidur, pemalas, suka membuat onar di kelas, sibuk main game online ketika pelajaran, dan suka melewatkan beberapa pelajaran karena tidak suka. Motto mereka berdua adalah : Nakal tidak apa-apa, yang penting tidak melakukan tindakan bullying. Karena bullyng akan merendahkan dan merusak mental orang lain. Sedangkan kenakalan yang sering mereka lakukan hanya ditujukan kepada dirinya sendiri. Karena rasa malas dan tidak suka dengan sekolah. Jika Genta boleh jujur, sekolah hanya formalitas. Semua anak seusianya sekolah dan Genta juga harus sekolah. Hanya sebatas itu, dia tidak ingin menonjol sebagai anak pintar atau memiliki bakat lainnya. Karena Genta memang tidak berbakat. "Genta, Zidan, ngapain Lo berdua? Masuk kelas!" Nah, yang ini namanya Tito. Cowok pintar dari kelas XI IPA 1, pemegang juara Olimpiade Biologi nasional tahun lalu. Dan entah mengapa, Tito bersahabat dengan kedua cowok bermasalah di depan sana. Genta dan Zidan yang sedang menikmati siomay mereka langsung menoleh ke belakang. Menatap Tito yang sudah berkacak pinggang bagaikan panglima perang yang meminta tawanan agar menyerahkan dirinya. Genta menghela napas panjang dan meletakkan garpunya di atas piring setelah melahap sisa-sisa sayuran rebus di piringnya. Zidan pun sama, mengikuti langkah Genta yang mendekat kepada Tito. Cowok itu langsung mengapit kedua sahabatnya di ketiak. Menyeret mereka untuk pergi dari kantin saat itu juga. "Astaga, gue udah mirip Ibu-ibu yang marahin anaknya mandi di kali. Lo berdua ngapain sih di kantin waktu KBM? Untung gue ngelihat dua anak nakal lewat kelas gue secara terpisah." Omel Tito sepanjang perjalanan. Genta dan Zidan hanya diam diperlakukan seperti itu. Tito memang leader di geng mereka. Karena Tito adalah orang yang paling waras dan bisa diandalkan untuk mengerjakan tugas yang sering diabaikan kedua sahabatnya itu. Beberapa langkah lagi, Tito sampai di depan kelas XI IPS 2, bel istirahat berdering nyaring. Dengan sangat terpaksa, Tito melepaskan kedua sahabatnya itu dengan wajah kesal. Genta dan Zidan jingkrak-jingkrak karena bebas dari pelajaran hari ini. Keduanya berlari ke kantin kembali tanpa ijin dari Tito. Berlarian lalu saling dorong seperti anak kecil. Mungkin penelitian itu benar, laki-laki lebih lambat dewasanya daripada perempuan. Tito sendiri sudah membuktikan teori itu setelah melihat kedua tingkah sahabatnya. Genta yang ceria seperti anak kecil dan Zidan yang jahil setiap kali mereka bersama. Benar-benar pribadi yang menyenangkan untuk dijadikan temannya. Karena Tito pribadi adalah orang yang kaku dan gila belajar. Dia juga butuh hiburan dan hiburan itu bisa dilihat dari interaksi Genta dan Zidan. "Bu, mau siomay ekstra sambal kacang dua ya. Minumnya es jeruk satu, es teh satu, terus air mineral enggak dingin satu!" Teriak Genta kepada Ibu kantin langganan mereka. Zidan sudah duduk anteng dengan menonton televisi mini di atas meja Ibu kantin. Biasanya televisi itu akan digunakan sebagai hiburan para pedagang di kantin untuk mengusir sepi sambil menunggu siswa selesai KBM. Setelah istirahat, maka televisi itu adalah milik Genta and The Geng. Pesanan mereka datang dibarengi dengan kedatangan Tito yang menarik salah satu kursi untuk dia duduki. "Mineral water. Untuk sahabat gue Tito tersayang," ucap Genta meletakkan air mineral di depan Tito. Tito hanya menggeleng tidak percaya. Genta memang selalu membelikan air mineral untuknya, mungkin semenjak Tito mengatakan ginjalnya tinggal satu karena mengalami kerusakan ginjal parah ketika SD. Bahkan kedua sahabatnya begitu perhatian setiap kali Tito mengalami kesulitan. "Gimana beasiswa Lo? Aman? Gema enggak bikin masalah lagi, 'kan?" Tanya Zidan kepada Tito. Cowok dengan kacamata minus itu hanya mengangguk. Hampir saja, beasiswanya bermasalah karena cowok bernama Gema. Gema itu siswa paling pintar, pindahan dari luar negeri, dan tentunya memiliki kuasa karena Papanya anggota DPR. Gema sempat berselisih paham dengan Tito karena masalah Olimpiade Biologi waktu itu. Gema ingin masuk tim, namun guru pembimbing Olimpiade belum mengijinkan jika Gema tidak ikut tes masuk tim. "Cowok itu memang b******k! Cuma karena dia pintar, bisa langsung masuk tim tanpa ujian, gitu?" Sindir Zidan sambil memakan siomay kesukaannya. "BISA!" teriak seorang cowok dengan wajah blasteran dari belakang. Ketiga cowok itu menoleh dengan wajah malas. Apalagi Tito yang hanya bisa menghela napas panjang dan mengalihkan pandangan matanya. Berurusan dengan cowok itu hanya akan membuang waktunya. "Ge-ma ... Gelandangan Malang! Itu singkatan nama Lo? Ah iya, lupa, Lo pasti bakalan nangis ke Bokap Lo dan minta dia buat ngeluarin gue dari sekolah. Bener enggak?" Sindir Genta yang mendapat sikutan dari Tito agar diam. Gema tertawa sinis, cowok itu berjalan mendekat dan meletakkan sebuah kertas di depan Tito. Itu kertas bahwa dirinya dinyatakan lulus dan masuk tim Olimpiade tahun ini. Tito sebenarnya tidak peduli, dia tidak pernah masalah dengan siapa saja orang yang ikut dalam tim. Termasuk Gema! "Lihat 'kan? Gue memang cerdas, bahkan rekor nilai Lo kalah sama nilai gue. Tenang, beasiswa Lo aman kok. Gue sama sekali enggak butuh beasiswa. Orang tua gue masih mampu membiayai semua uang sekolah dan dana lainnya," sombong Gema kepada Tito yang tidak ditanggapi oleh cowok itu. Genta dan Zidan tetap fokus dengan makanannya, tidak penting ketika berulang kali berdebat dengan orang seperti Gema. Cowok sok kaya yang selalu mengancam orang lain dengan kekuasaan orang tuanya. Mungkin, itu alasannya, mengapa Gema tidak memiliki teman satupun. "Gema sayang, Lo kalau mau cuma pamer doang jangan di sini. Gue mau makan nih, kasihan siomay gue nih, menyerahkan diri buat di makan karena takut ngelihat brewok Lo. Sebenarnya, Lo anak SMA atau Om-om kurang belaian," ucap Genta yang membuat semua orang menahan tawa. Gema mengepalkan tangannya kuat-kuat, Genta memang orang yang paling tidak dia sukai di sekolah ini. Selain karena menyebalkan dan suka menghinanya, Genta memiliki banyak teman. Cowok seperti Genta adalah tipikal cowok yang humble dan tidak sombong meskipun semua orang tahu jika Ayah cowok itu seorang pengusaha kuliner yang memiliki banyak cabang di Indonesia. "Udah sana, enggak usah sok kelihatan marah. Jangan gangguin Tito lagi, dia enggak peduli sama Lo. Mau Lo ikut tim atau enggak, bukan urusan Tito. Yang penting jangan ganggu beasiswanya. Karena apa? Karena Lo enggak mau ribut sama gue. Lo tenang, gue jauh lebih tenang. Sama-sama diam dan jangan berulah. Itu paling penting!" Usir Genta dengan bahasa yang halus. Gema menyaut kertasnya lalu pergi begitu saja. Mungkin kesal dengan omongan Genta dan malu karena sudah menjadi tontonan siswa-siswa satu sekolah. Tito tertawa pelan menatap Genta yang dengan santainya memakan sisa siomay yang ada di piringnya lalu menyeruput es teh karena kepedasan. Sedangkan Zidan lebih banyak minum karena tidak tahan dengan rasa pedasnya. Genta lupa bilang kepada Ibu kantin untuk mengurangi sambal untuk Zidan. "Gue suka mulut Lo waktu menghina orang. Mungkin otak Lo berguna dengan baik ketika keadaan seperti ini," ucap Tito sambil tertawa. Zidan mengacungkan kedua jempolnya ke arah Genta. "Artinya, gue punya potensi jadi politikus, 'kan?" Tanya Genta dengan wajah semangat. Tito langsung menggeleng, "Gue yakin, Lo bakalan punya banyak musuh dengan mulut kasar Lo itu. Biasanya orang kaya Lo gitu jadi sasaran operasi geng tidak dikenal buat dibunuh, bahasa kasarnya sih gitu. Karena, Lo bahaya untuk politikus yang lain." Genta menampakkan wajah ngeri. Dia tidak ingin mati muda apalagi diburu oleh lawannya. Kalau begitu, Genta harus mencari profesi lainnya. Lalu apa? Dia tidak punya mimpi lain untuk diwujudkan seperti kedua sahabatnya. Tito yang ingin masuk kedokteran dan Zidan yang ingin masuk kepolisian. Mereka memiliki tujuan yang jelas, lalu dia? "Terus cita-cita gue apa, ya?" Tanya Genta kepada kedua sahabatnya dengan bingung. "Lo bilang masuk surga," jawab Zidan spontan. Mengikuti ucapan Genta ketika cowok itu menjawab pertanyaan dari Bu Milka, guru Bahasa Inggris mereka. Tito menatap Genta yang tersenyum lucu, "Apa ini tandanya orang bakalan meninggal?" Ucap Tito asal. "Astaghfirullah, mulutmu, Nak. Sungguh teganya!" Marah Genta karena mendengarkan jawaban Tito baru saja. Zidan dan Tito tertawa, melihat wajah spaneng atau kaget dari Genta sudah menjadi hiburan tersendiri untuk mereka berdua. Tito meminum air mineral yang dibelikan Genta, sedangkan Zidan sedang mengganti channel televisi mini. "Infotainment again! Lo mau jadi polisi atau mau jadi presenter gosip, sih? Kerjaan Lo tiap hari nontonin hal tidak perguna kaya gini," kesal Genta setiap kali Zidan menonton acara artis. Zidan memang penyuka infotainment. Jadi, jika diantara kalian yang ingin tahu kabar tentang artis menikah, bercerai, atau sedang memiliki skandal, tanyakan langsung kepada Zidan. Karena cowok itu memiliki banyak informasi. "Ada Gita Prameswari ... Lihat deh, mau ada film baru yang dia bintangi. Njir, lagi-lagi adaptasi novel karya Asmarandana. Gila, itu novel mahal banget anjir. Kalau bukan karena cewek gue, enggak akan gue beli novel seharga seratus lima puluh ribu." Heboh Zidan menatap kedua sahabatnya yang tidak tertarik sama sekali. "Gue heran, semua film yang diadaptasi dari novel karya Asmarandana, pemain ceweknya pasti yang dipakai Gita. Seperti ada ikatan antara si Asmarandana ini dengan Gita Prameswari. Gue jadi penasaran sama penulisnya, apa jangan-jangan dia ada hubungannya dengan Gita?" Zidan sibuk menganalisis sendiri. "No! Gita dan Asmarandana enggak punya hubungan apapun. Itu cuma kebetulan, harusnya mereka bisa cari pemain wanita yang lebih baik. Mood gue rusak setiap kali tahu pemain film yang pengen gue tonton itu Gita." Jawab Genta melipat tangannya di d**a. Tito menggelengkan kepalanya ketika Zidan menatapnya. "No comment, gue nggak suka film atau novel. Gue suka buku pelajaran. Jadi, Lo berdua bisa ribut berdua tanpa melibatkan gue. Genta suka novel karya Asmarandana dan Zidan suka artis Gita Prameswari. Genta enggak suka artis Gita Prameswari dan Zidan enggak suka novel karya Asmarandana. Dan Elo berdua, gila! Mereka kolaborasi, itu bukan kemauan mereka sendiri. Ah, susah ngomong sama dua papan kayu." Tito beranjak dari duduknya dan membawa air mineralnya. Genta dan Zidan saling tatap. "Lo paham apa yang dia omongin?" Tanya Genta kepada Zidan. "Enggak," jawab Zidan polos. "Sama ... Gue juga enggak paham!" Keduanya mengangguk, memilih untuk kembali memesan makanan daripada bingung dengan apa yang ingin Tito sampaikan. Bukankah IQ  mereka jauh tertinggal di bawah Tito. Sudah pasti mereka tidak akan paham. Genta mengeluarkan uang dari saku celananya dan memberikannya kepada Ibu kantin setelah selesai makan. Pandangannya tidak sengaja mengarah kepada seorang cewek yang diam di pojokan bersama dengan seorang cowok. Cowok itu kakak kelasnya, lalu apa yang dilakukan cowok itu? Genta berlari sekuat tenaga dan menendang meja mereka dengan kuat. Membuat cowok itu terjengkang ke belakang. Semua orang kaget, termasuk Zidan yang tidak sadar dengan kelakuan Genta baru saja. Bukannya Genta tidak pernah seperti itu? Senakal-nakalnya Genta, cowok itu tidak pernah menggunakan kekerasan sebagai jalan keluarnya. Cewek itu menangis, tangannya menggenggam kuat roknya. Tidak berani mendongak, hanya diam dan terus diam. Genta menarik kerah seragam cowok itu dengan kasar, melihat name tag yang dipakainya. Ganindra Juanda. "Apa yang mau Lo lakuin sama cewek ini?" Tanya Genta berusaha untuk menurunkan volume suaranya. Cowok bernama Juan itu berusaha melepaskan cengkraman Genta di kerahnya. Mengumpatinya dengan kata-kata kasar karena berani padanya. "b******k, lepasin tangan Lo! Jangan kurang ajar ya sama gue. Jangan sampai Lo nyesel. b******n, lepasin! Lo budeg, lepasin." Kesal Juan. Genta melepaskan kerah seragam Juan dengan cara mendorongnya ke lantai. Tatapan tajam seperti ini, tidak pernah diperlihatkan kepada siapapun. Bahkan ketika Genta marah kepada Gema. Cowok itu selalu bisa menguasai dirinya. Hanya saat ini, Genta terlihat menyeramkan. Bahkan wajahnya merah padam karena menahan marah. Zidan memegang lengan Genta, membisikkan sesuatu di telinga cowok itu agar tenang. "Bro, tahan! Jangan emosi, oke? Kita pergi, kita pergi. Gen ..." Genta maju beberapa langkah, mendorong Juan dengan kakinya. Lalu meletakkan kakinya tepat di d**a Juan dengan kesal. Zidan melepaskan tangannya, rasanya percuma menahan Genta saat ini. Zidan tidak bisa menenangkannya. Karena Zidan tidak pernah melihat sisi ini dari diri Genta. "Gue cuma punya satu kesempatan! Gue harap, Lo enggak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang udah gue kasih. Jawab ..." Ucapan Genta mengambang. Membuat semua orang penasaran dengan apa yang akan Genta tanyakan kepada Juan. "Apa yang Lo lakuin sama cewek itu? Jawab ..." Semua orang mengalihkan pandangan mata mereka kepada seorang cewek yang duduk terdiam di sana. Tidak lama kemudian, cewek itu berlari meninggalkan kerumunan. Genta tidak kenal, Genta tidak tahu siapa orangnya, tapi Genta tahu bagaimana kejadiannya. ###

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
54.1K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
90.9K
bc

Skylove (Indonesia)

read
109.0K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.2K
bc

Kamu Yang Minta (Dokter-CEO)

read
292.7K
bc

Pernikahan Kontrak (TAMAT)

read
3.4M
bc

Bastard My Boss

read
2.7M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook