bc

NOTICE ME, SENSEI !

book_age12+
19
FOLLOW
1K
READ
age gap
bxg
genius
suger daddy
female lead
highschool
office/work place
small town
first love
lonely
like
intro-logo
Blurb

Yume Tachibana. 15 tahun. Dijuluki si cewek polkadot, ekspresinya selalu jenuh, tidak punya teman, dan selalu terlibat masalah. Diluar dugaan kepribadiannya berbanding terbalik dengan penampilannya. "Aku tidak butuh teman. Tapi aku tidak ingin sendirian."

Kazuki Takahashi. 24 tahun. Hidup 'normal' dan biasa-biasa saja hingga saat dia bertemu Yume Tachibana. Hampir selalu masalah yang melibatkan gadis itu ikut menyeretnya juga. "Kalau bisa memutar waktu, aku tidak ingin mengenalnya."

Tapi, apa benar Kazuki tidak ingin mengenal Yume? Apalagi saat dia tahu siapa muridnya itu?

chap-preview
Free preview
Tempat Semua Berawal
Hari ini juga, ya? Gadis itu selalu sendirian di atap gedung sekolah. Tanpa bekal makanan selayaknya siswa-siswi SMA. Hanya sebuah roti, dan sekaleng jus yang dijual di kantin. Di bawah terik matahari, bersandar dikawat besi, dia menyendiri. Mengunyah roti gigitan demi gigitan. Menyeruput jus kalengan yang berwarna kuning dalam diam. Angin bersiul menyibak rambut sebahunya, memperlihatkan wajah yang biasa saja. Walau sering memergokinya, wajah yang biasa saja itu tak pernah bosan dipandang. Bukan karena bentuk rupanya, namun sorot mata yang kesepian, setiap tarik dan hembus nafas yang lamban, dan mulut yang kaku membuatnya terkesan kelelahan. Lelah karena apa, tak ada yang tahu. "Tachibana." Aku menghampirinya. Gadis itu hanya menoleh. Tidak terkejut, juga tidak tampak terganggu. "Siswa dilarang datang ke atap. Bukankah sudah tertulis di depan pintu itu?" Gadis itu sejenak melirik kearah pintu lalu menatap ke pemandangan kota dibawahnya. "Apakah Sensei terganggu dengan kehadiranku?" "Bukan tentang terganggu atau tidak. Peraturan tetaplah peraturan." "Kalau begitu, Sensei bisa mengabaikanku saja." "Aku tidak bisa mengabaikan murid yang melanggar peraturan." "Kenapa?" "Kenapa?!" Aku cukup kaget dibuatnya. Yume Tachibana, aku tidak mengenal gadis ini. Bagiku dia hanya satu dari sekian murid yang kebetulan duduk di kelas yang menjadi tanggung jawabku. Karenanya, saat dia bertanya dengan begitu mudah, aku pikir dia murid berandal. Awalnya kupikir begitu. "Karena aku adalah gurumu, lebih lagi aku wali kelasmu, dan aku bertanggung jawab dalam hal-hal seperti ini." "Apa aku akan dihukum?" Tanya Tachibana. Kupadamkan rokok dengan menekan ujung puntungnya yang menyala kepermukaan pagar besi. Berbicara dengan murid yang seperti ini akan semakin menyusahkan jika tidak terlihat serius dan berwibawa. Maka kupadamkan dan kusimpan puntung rokok itu dalam saku untuk nanti dibuang pada tempatnya. "Kalau kau mendengarkanku sekarang dan kembali ke kelasmu, atau pergi ke kantin, kemanapun dan bukan disini, kau tidak akan dihukum." Tachibana menatapku dengan heran. "Sensei," panggilnya, "kenapa Sensei menegurku sekarang?" Anak ini benar-benar badung. Begitu pikirku. "Karena kalau tidak sekarang, ini akan menjadi kebiasaan burukmu." "Padahal Sensei sudah sering memergokiku disini." Dia tahu. Daripada terkejut, lebih tepat dikatakan bahwa aku merasa cukup direndahkan. Kalau memang dia tahu, sudah sepantasnya dia tidak datang lagi ke tempat ini dan terang-terangan melanggar peraturan sekolah. Apa dia tidak memandangku sebagai guru? Aku mutasi ke sekolah ini pada pertengahan bulan Februari yang lalu. Aku memiliki kebiasaan merokok dan sudah tiga tahun menjadi perokok aktif. Biasanya di waktu istirahat, aku selalu merokok diruang guru. Namun disekolah ini karena ada larangan merokok didalam gedung sekolah, satu-satunya tempat yang tepat untuk merokok adalah atap. Walaupun berada di area sekolah, atap tidak dapat disebut 'dalam gedung' sekolah, jadi tidak ada resiko kena teguran dari atasan. Dua atau tiga batang kuhabiskan, tergantung suasana hati, kadang-kadang tidak menyentuh rokok sama sekali. Lalu disuatu siang yang mendung, aku melihatnya. Yume Tachibana. Sekali lihat pun sudah ditebak siapa dia. Gaya rambutnya yang digerai asal-asalan, lengan seragam musim dinginnya dilipat sampai sikut. Dan kaos kaki hitam selutut yang dengan beberapa bolongan kecil-sedang. Seperti polkadot. Pikirku saat itu. Karena saat itu aku belum tahu bahwa ada larangan untuk siswa, maka aku membiarkannya duduk menyendiri disana. Bahkan saat mengetahui peraturan sekolah secara keseluruhan pun aku masih membiarkannya disana. Waktu itu kupikir, mungkin dia hanya terlibat suatu masalah dengan teman-temannya. Tapi itu sudah empat bulan yang lalu! Dan sampai saat ini dia masih duduk menyendiri. Karena itulah aku menghampirinya sekarang, alasan yang sebenarnya bukan untuk menegur perbuatannya. Mungkin dengan menghampirinya, aku akan tahu apakah dia menjadi korban bully atau ada alasan lain yang mengharuskan dia sendirian di atap sekolah setiap saat. "Tachibana, jadi kau tahu aku disini. Kalau begitu kenapa kau masih berani datang kesini? Apalagi kau tahu bahwa aku sudah memergokimu selama beberapa kali." Dahi Tachibana mengerut, masih sambil memandangku dia berkata, "Karena Sensei tidak menegurku saat itu, dan selama beberapa kali itu juga tidak, jadi kupikir-" "Bahwa aku mengijinkanmu?" Aku menyelesaikan kalimatnya. Memang masuk akal juga. Tapi itu bukan sebuah pembenaran. Tachibana mengangguk dengan serius. Benar-benar serius. Haaah... Aku menyerah. "Baiklah." Aku turut bersandar dikawat pembatas lalu mengambil sebatang rokok baru dan menyulutnya. "Apa Sensei mengijinkanku sekarang?" "Tidak. Peraturan tetaplah peraturan." Jawabku tegas. "Jadi ini kesempatan terakhirmu. Besok dan seterusnya, makanlah di kelasmu atau di kantin. Ajak teman-temanmu." "Aku tidak punya." "Tidak punya? Apa itu artinya kau di kucilkan di dalam kelasmu?" Tachibana menggeleng. "Tidak. Hanya tidak punya saja." "Kalau begitu carilah." "Aku tidak bisa." "Kenapa? Teman-temanmu sengaja menghindar darimu?" "Bukan itu juga, Sensei. Hanya tidak bisa." "Kau hanya perlu berusaha." "Aku tidak tahu caranya." Tanganku yang memegang rokok berhenti di udara. Kalau dia sedang tidak menggunakan bahasa formal sekarang, aku akan benar-benar berpikir dia gadis badung dan membawanya ke kantor kepala sekolah. "Tachibana." "Ya, Sensei?" "Apa yang kau minum itu?" "Orange juice." Jawab Tachibana. Dia mengangkat kaleng jus itu, menatapnya selama beberapa detik lalu melihatku lagi. "Jangan-jangan Sensei mau?" "Astaga." Entah harus apa aku, tertawa atau marah. "Maaf, Sensei. Punyaku sudah habis." Aku melepas kacamataku dan mengaitkannya di saku kameja. "Tachibana. Apa kau tidak pernah belajar bagaimana berbicara kepada orang lain dengan benar? Pertama, jangan tawarkan bekas minummu pada gurumu sendiri. Itu tidak pantas." "Oh.. Hanya saja kupikir-" "Kedua, menanyakan apa yang kau minum itu belum tentu bahwa aku menginginkannya." "Baiklah..." Ku hirup lagi rokokku dan menghembuskan asapnya jauh-jauh. "Kau bilang tidak tahu caranya, yang kau maksud itu, memulai sebuah pembicaraan dengan seseorang, kan?" "Mungkin." Gumam Tachibana. "Sensei tahu caranya?" Aku tidak mengerti kenapa dia menjawab Mungkin bukannya mengatakan Ya atau Tidak saja. Namun hal itu tidak begitu penting untuk dipikirkan, lalu aku berkata lagi. "Sebenarnya itu mudah saja. Kau tidak perlu berpikir keras untuk memulai sebuah percakapan." "Tapi aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa." "Apa yang kukatakan padamu tadi?" "Melarangku naik ke atap?" "Bukan itu. Yang kutanyakan padamu." "Tentang minumanku?" "Ya. Itu dia." Tachibana menatapku lama. "Aku tidak mengerti, Sensei." Apa dia baru saja muncul dari sebuah sumur atau gua pedalaman tanpa pernah berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain? Aku tidak tahu. "Kalau aku jadi kau, aku akan memulai percakapan dengan menanyakan minuman yang diminum salah satu teman sekelas." Ujarku. "Percakapan biasanya muncul dari hal-hal sederhana seperti itu. Menanyakan barang ini-itu, menyamakan hobi dan bakat atau memuji penampilan orang lain." "Bagaimana kalau hobi kami berbeda?" "Apa kau akan menyerah mencari teman hanya karena perbedaan hobi?" Tanyaku yang langsung mendapat jawabannya. Tachibana menggeleng dengan sungguh-sungguh. "Kalau begitu tinggal lakukan saja. Kau takkan tahu hasilnya kalau kau tidak pernah mencobanya." Ding-dong.. ding-dong.. "Nah. Bel-nya sudah berbunyi. Kembali lah ke kelasmu." Kumatikan puntung rokok seperti biasa, lalu memasukkannya dalam saku yang sama. Tachibana bangkit berdiri lalu berjalan lebih dulu kearah pintu masuk tanpa mengatakan apa-apa. Dia berhenti sejenak diambang pintu, ragu-ragu untuk melangkah. "Tachibana!" Gadis itu lalu menoleh. Seperti biasa, wajahnya yang 'biasa saja' itu menunjukkan ekpresi lelah yang sama. "Jangan ragu. Pertarunganmu baru saja dimulai." Tachibana menatap sepatunya, beberapa detik berlalu dan dia tetap menatap sepatunya. Kupikir dia tidak percaya diri sama sekali, saat melangkah mendekat, Tachibana mengangkat wajahnya lalu tersenyum dan mengangguk dengan pasti sebelum berlari menuruni tangga. Mungkin gerakan itu terlalu cepat, mungkin juga terlalu mendadak, atau mungkin karena senyumnya. Aku berdiam ditengah atap cukup lama sebelum melangkah masuk. Kalau dipikir-pikir kata-kataku barusan terdengar keren juga, ya. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.2K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.3K
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
54.1K
bc

Om Tampan Mencari Cinta

read
399.9K
bc

True Love Agas Milly

read
197.7K
bc

Wedding Organizer

read
46.6K
bc

The Prince Meet The Princess

read
181.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook