bc

Grivena Athalia

book_age18+
398
FOLLOW
1.4K
READ
murder
dark
drama
tragedy
Writing Challenge
Fantastic Life Writing Contest
serious
mystery
Writing Academy
Fantasy Romance Ⅱ Writing Contest
like
intro-logo
Blurb

Grivena Athalia, gadis misterius yang baru pindah ke Cristal High School itu berhasil menggait cinta Hideki Arata, si pintar dan populer, pada hari pertama mereka bertemu. Kisah cinta rumit mereka berjalan di tengah banyaknya penculikan dan pembunuhan. Saat semua orang mulai memojokkan Vena, menuduh gadis itu sebagai pembunuh, apakah yang akan Arata lakukan? Akankah dia tetap mencintai, dan mempercayai Vena?

Ini tentang dendam dan Cinta. Tentang bagaimana Vena mengatasi sindrom remaja labilnya, di tengah misi yang ia jalani. Tentang bagaimana mencoba menerima kekecewaan setelah rasa cinta.

Tentang kenyataan, dan jati dirinya.

chap-preview
Free preview
Prolog
Di Hydrangea Juli, 1995 Sirine peringatan terdengar di seluruh penjuru negeri. Orang-orang mulai berlari keluar dari rumahnya, berdesakan di jalanan, tak peduli siapa yang mungkin terinjak. Suara tembakan menyusul, menggema di udara. Bom-bom berjatuhan di atas bangunan-bangunan tinggi. Reruntuhan menimpa apapun di bawahnya, hingga rata dengan tanah. ... Hancur. Dalam satu pekan yang mengerikan itu, air di kanal menjadi merah oleh darah, mayat-mayat mengambang di atasnya. Sebagian besar berserakan di atas reruntuhan. Asap dan debu dari gedung-gedung yang terbakar masih mengambang di udara. Menjadi polusi. Membuat orang yang masih hidup kesulitan bernafas, dan akhirnya mati karena penyakit. Perang telah meletus. Tak peduli apapun yang dilakukan, orang-orang mulai tercerai-berai. Kekerasan ada di mana-mana. Kamp-kamp konsentrasi didirikan. Ribuan orang tak berdosa dipenjarakan, dideportasi, atau dibunuh. Beberapa orang masih bertahan, hidup di pengungsian atau bersembunyi di balik reruntuhan rumahnya. Mereka menjalani hidup masing-masing dengan terseok-seok. Mereka mengerti, hidup mesti berjalan walau tak sama lagi. Suara langkah kaki yang lincah dari anak perempuan mengusik kesunyian. Suara gedebruk terdengar ketika dia menjatuhkan lututnya di lantai tangah. "Kakak, aku menemukan ayah dan ibu." Tangannya menggoyang-goyang lengan kakak perempuannya yang sedang tertidur. "Apa kamu berpergian seenaknya lagi?" Sang kakak terbangun, mengucek matanya sambil mengomel pada gadis kecil. "Kenapa kamu tak mau mendengarkanku sih? Bagaimana jika kamu terluka? Bagaimana jika mereka juga membawamu pergi?!" Gadis kecil itu menunduk, merasa bersalah. Kakaknya menghela nafas sabar. "Sudahlah. Ayo! kita temui ayah dan ibu. Di mana mereka?" Gadis kecil segera mengangkat kepala dan tersenyum. Diam-diam. Dengan langkah tanpa suara, kakak beradik itu pergi dari bangunan satu ke bangunan yang lain. Kepalanya mengintip dari balik bebatuan, memastikan semuanya aman sebelum mereka bertindak lanjut. "Di sana." Sang adik menunjuk ke reruntuhan depan bangunan besar yang setengah kokoh. Itu adalah toko roti milik keluarga mereka sebelum perang terjadi. "Ayo." Kakak perempuannya memberi intruksi. Mereka mendekati reruntuhan itu, lalu menyingkirkan batu-batu di atasnya. Wajah kedua orang tua mereka terlihat tersenyum dengan tenang, sementara tangannya saling terpaut. Kakak beradik itu menyeret kedua orang tuanya ke sebuah tanah lapang dekat tempat persembunyiannya. Dengan tenaga yang tersisa, keduanya mengeruk tanah dengan peralatan seadanya. Tidak ada cangkul, melainkan kayu rapuh yang mereka jadikan alat menggali. Tak masalah dengan luka yang mereka miliki. Memberi pemakaman yang layak untuk kedua orang tua adalah satu-satunya kewajiban yang bisa mereka lakukan. Mereka duduk di samping makam. Berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar kedua orang tuanya diberikan sebaik-baiknya tempat di akhirat, dan semoga, perang saudara ini segera berakhir. "Wahh, wahh. Lihat apa yang kutemukan. Ada pemberontak di sini." Suaraberat seorang pria menghampiri, mengganggu acara doa mereka. Kakak dan adik itu sama-sama menoleh. Mengerutkan dahi ketika yang datang adalah kerabat dekat, tetangga mereka sendiri. "Amir." "Irina, Tulip telah mengirimkan pasukan untuk melindungi kita, tidak perlu takut. Ayolah, ikut aku ke pengungsian." "Tidak!" Irina langsung menolak dan memeluk gadis kecil. Bibirnya bergetar. "Kau pembohong! Kalian semua hanyalah pembunuh. Kalian menyiksa dan membunuh orang-orang tak berdosa. Kalian monster! Kalian pantas mendapat laknat Tuhan," maki Irina. Kemudian dia meludah di depan Amir. "Hei, kubilang tidak perlu takut." Amir berjalan pelan mendekati mereka. Irina berdiri, menggenggam tangan adiknya semakin erat. Dia hendak mengajaknya kabur ke arah kiri, namun 3 orang datang dari sana dan menghalangi jalannya. Di sisi kanan, Amir ditemani beberapa orang lain yang baru datang lengkap dengan senjata. Irina akhirnya terpojok ke sebuah pohon di dekat makam orang tuanya. Jika mereka kabur ke belakang, ada hutan yang berujung masuk ke kamp konsentrasi. Sama saja dengan bunuh diri. Tidak ada jalan lain. Mereka berdua terkepung. Amir menarik tangan Irina, sementara temannya di sisi kiri menarik adiknya menjauh. Mereka dipisahkan, sama-sama meronta untuk lepas namun tidak ada tenaga yang tersisa. Irina dipukuli, ditelanjangi dan diperkosa bergiliran oleh tetangganya sendiri. Adiknya menjerit dari balik orang-orang yang menahannya. Dia menggigit lengan mereka namun malah berujung pukulan di kepala dan dadanya. Gadis kecil yang malang tersungkur ke tanah. Tangannya merangkak menggapai sang kakak dengan tangis histeris namun tangan itu diinjak oleh seorang laki-laki bertubuh besar. Sang kakak melihat adiknya kesakitan, berusaha menyuruhnya pergi saat ada kesempatan. Namun usahanya sia-sia. Gadis kecil hanya melihat kakaknya sekarat hingga tak bergerak lagi. Amir menginjak mayat wanita cantik yang pernah dia puja. Membuat tulangnya remuk. Darah keluar dari mulutnya. Amir mengeluarkan pistol dari dalam saku celananya, kemudian diarahkan ke kepala Irina. "Jika saja dulu kau mau menikah denganku dan mengesampingkan perbedaan ras di antara kita, semua ini tidak akan terjadi padamu. Kita akan pindah ke Violet dan hidup bahagia di sana." Amir menatap wajah Irina. Pikirannya mengulang kebersamaan mereka saat berkebun atau sekedar minum kopi dan mengobrol di teras. Kenangan itu sirna oleh timbulnya kebencian dan perang antar ras. Amir mengeluarkan seringainya. "Namun sangat menyenangkan melihatmu seperti ini. Rasa sakit hatiku akhirnya terbalaskan. Kau tau? Di luar sana banyak yang ingin menikah denganku. Dan kau--" "Kakaaaak!!" Adiknya berteriak ketika satu tarikan pelatuk melubangi kepala kakaknya. Tangisnya semakin memuncak. Dia merangkak menghampiri kakaknya. Gadis kecil itu memegang tangan kakaknya yang terulur. Tangan itu sudah tak bisa menggenggamnya lagi. Satu-satunya keluarga yang dia miliki telah berpulang. Dibunuh dengan cara yang keji di depan matanya sendiri. Kaki gadis kecil itu kemudian ditarik oleh orang-orang tadi. Tubuhnya di seret ke jalanan yang penuh batu. Orang-orang itu menyeretnya sambil tertawa, seperti anak laki-laki yang bermain dengan mobil mainan barunya. Tubuh gadis itu perlahan menjadi mati rasa. Dalam pikirannya hanya ada bayangan kakaknya yang merintih sakit menatapnya. Gadis kecil hanya pasrah saat tubuhnya mulai mati rasa. Biarlah, mungkin ini bagiannya untuk bertemu Tuhan dan berkumpul dengan keluarganya lagi. Mungkin itu adalah rasa sakit terakhirnya. Dan merupakan jalan terbaik untuk bahagia. *** "Perang ini, bukankah Tulip sudah mengirimkan pasukan untuk melindungi penduduk dan pengungsi?" Nifa bertanya heran kepada temannya lewat telepon. "Iya. Kudengar ada 450 orang yang dikerahkan. Tapi, kenyataannya mereka bukan melindungi." "Apa maksudmu?" Nifa merapatkan mantel hitamnya. Dia mengambil sebuah revolver lalu mengisinya dengan 9 peluru. "Anak-anak dan wanita dipisahkan. Mereka dibawa ke kota X dengan embel-embel bahwa kota itu adalah 'zona aman'. Namun di tengah perjalanan, mereka diseret, diperkosa dan dibunuh begitu saja." Nifa memasukkan revolver itu ke dalam saku mantelnya. Dia mendecih sambil melihat pantulan wajahnya di cermin. "Aku paham. Terima kasih informasinya. Aku harus pergi sekarang." Nifa keluar dari ruang bawah tanah. Bagian atas rumahnya telah hancur, namun gudang senjata masih aman. Nifa bersyukur, setidaknya perang ini membuat dia tidak perlu membayar pajak selama 3 tahun. Kondisi negara sudah kacau. Dia harus pergi ke tanah kelahirannya—Tulip—setelah ini. Nifa berjalan dari satu lorong ke lorong yang lain ketika dia mendapati targetnya—seorang lelaki dengan tato bendera Tulip di leher—berjalan di sana. Dia membuntutinya. Lelaki itu menunjukkan bahwa dia sadar dengan melirik ke belakang beberapa kali. Namun pikirnya itu hanya warga sipil yang sedang bersembunyi. Nifa memutuskan untuk mengambil jalan memotong. Dia bergerak ke kanan, kemudian belok ke kiri lagi. Dia berjalan dengan kanal di samping kanannya. Melewati jalanan yang sempit dengan sepatu setinggi 5 cm. Ketika menemui belokan lagi, Nifa berputar ke kiri. Di sanalah lelaki itu kini terpaku menatapnya. Dia mengenal wanita yang berhenti tepat di depannya. Arnifa Eirenne. Jika orang bertemu dengannya, pastilah dia memiliki urusan. "Siapa kau?" tanya Lelaki itu. "Kau sudah tau." Nifa mengambil revolvernya. Dia tidak suka basa basi. Apalagi dirinya sudah ingin pergi dari negara ini. Langsung saja dia todongkan revolvernya ke arah lelaki itu. "Tu ... Tunggu dulu! Si- siapa yang mengirimmu?" tanyanya gemetaran. Langkahnya semakin mundur. "Kau lupa kalau aku pernah jadi klienmu?" Nifa menghela nafasnya."Siapa yang peduli dengan masa lalu, Alden Sead. Yang terpenting sekarang adalah kau—harus mati. " Alden tertawa garing. "Kau pikir semudah itu membunuhku?" Dia berdiri menantang. Orang-orang berdatangan dari masing-masing sudut lorong. Mereka botak, bersetelan jas dan memakai kacamata. Persis bodyguard bayaran. Tapi, memangnya mereka bisa menandingi seorang pembunuh profesional seperti Arnifa Eirenne? Tidak akan pernah. Mereka maju mengelilingi Nifa kemudian menyerang bersamaan. Ada enam orang. Masing masing dua di belakang, depan dan samping. Tangan kiri Nifa menepis tangan kiri lawannya sembari kepala menghindari serangan lain. Lalu tangan kanannya menyikut leher dan memukul kepala bagian kiri. Kepalanya menunduk ketika serangan lain datang, membuat sesama rekan saling memukul. Kemudian ketika ada kesempatan, dia memukul d**a, jakun, leher dan perut lawannya. Dengan gerakan yang lincah dan kuat, semua lawannya terkapar lemah dalam hitungan menit. Nifa menatap ujung lorong dimana Alden tadi melarikan diri. Dia segera pergi ke sana, perlahan-lahan dengan hati-hati. Suara ledakan mulai terdengar. Sepertinya serangan kembali dilontarkan sekutu. Nifa harus cepat menyelesaikan misinya. Di ujung lorong yang buntu, Nifa mendapati Alden mondar-mandir kebingungan. Dia seperti anak kecil yang tersesat dalam labirin, tanpa orang tuanya. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat ketika dia mendapati Nifa sudah ada di depannya. "Kau melawan mereka sendirian? Tapi ... ini belum 10 menit." Langkah kaki terdengar mengintimidasi. Nifa kembali menodongkan revolvernya. Dia tak ingin berkata lagi. Sudah cukup basa-basinya. Dia memarik pelatuk ketika Alden sudah terpojok ke tembok bata tua. Dorr!! Dorr! Dua suara tembakan terdengar nyaring. Nifa menembak d**a dan kepala Alden hingga dia tak bergerak lagi. "Ah, sialan. Aku tak mau mengakui ini, tapi, sepertinya aku harus pensiun." Nifa mendesah lelah. Merasakan tubuhnya sudah tak sekuat waktu dia muda dulu. "Andai aku punya keturunan." Nifa berbalik. Dia hendak pulang ketika mendengar suara rintihan di ujung lorong sebelah kanannya. Nifa melirik. Berpikir mungkin itu suara Alden, namun tubuhnya saja sudah tak bergerak. Nifa berjalan mendekat ke arah suara itu. Telinganya sangat peka. Tidak mungkin dia salah, suara itu memang suara gadis kecil. Di dalam sebuah kurungan ayam. Gadis kecil terbaring dengan menggigil. Tanah yang dia tempati basah dan lembab. Lidahnya nampak menjulur untuk mendapatkan air, namun tubuhnya tak berdaya. Kulit putih penuh luka. Rambut coklat kehitamannya menggimbal, bersatu dengan debu. Matanya menyiratkan keputusasaan. Dibukanya kurungan itu. Gadis kecil langsung menatapnya dengan mata sayu. Bibirnya mengucapkan kata tolong dengan sangat pelan. Nifa tak dapat mendengarnya, namun dia tahu apa yang coba gadis kecil itu minta. Nifa menatap mata hijau gadis itu dengan seringaian di sudut bibir. Dia mengagumi mata yang sangat langka. Membuat dia tanpa pikir panjang mengulurkan tangannya, menawarkan pertolongan. Tangan yang gemetar itu berusaha meraihnya. Luka sayat dan lecet bersatu dengan kotoran. Jika dibiarkan, mungkin kulit cantiknya akan rusak dan infeksi. "Mata yang indah ..., tubuh yang indah ...," gumam Nifa. "Kemarilah, Nak. Datanglah pada mama. Jadilah anakku, dan balaskan dendammu."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

True Love Agas Milly

read
197.7K
bc

Will You Marry Me 21+ (Indonesia)

read
612.7K
bc

MY ASSISTANT, MY ENEMY (INDONESIA)

read
2.5M
bc

Om Tampan Mencari Cinta

read
399.9K
bc

Sweet Sinner 21+

read
885.3K
bc

My Ex Boss (Indonesia)

read
3.9M
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
470.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook