bc

Biru- Sebuah Cerita pada Senja yang Akan Hilang

book_age12+
593
FOLLOW
4.5K
READ
possessive
playboy
dominant
goodgirl
sensitive
powerful
drama
comedy
Writing Challenge
highschool
like
intro-logo
Blurb

Cerita seorang gadis yang bernama Lanaria Jingga, pendiam, berkacamata, mungil dan tidak ekspresif. Dipertemukan dengan seorang lelaki yang bernama Albiru Bagaskara yang memiliki sikap kebalikan dari sikap Lana.

Lana menerima permintaan pertemanan dari Bagas, hidupnya lebih berwarna, hatinya lebih merekah, meski Bagas adalah laki-laki yang cerewet dan super banyak tanya.

______________

"Aku panggil kamu Nai, ya?" Biru.

"Tidak mau," Lana.

______________

chap-preview
Free preview
Pertama
-Menolong orang lain berarti dirimu sedang menolong kau sendiri, jangan lupa untuk memberi pertolongan pada orang lain meski hanya sedikit.- Rumy *** Gadis bertubuh mungil dan berkacamata bulat itu bernama Lanaria Jingga, orang-orang acapkali memanggil dirinya Lana. Seorang gadis yang memiliki tabiat pendiam dan biasa-biasa saja, ketika berjalan lebih tertarik untuk melihat ujung sepatunya dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya. Sekarang ia berada di tengah keramaian pasar pagi yang saat ini sudah berubah siang untuk membeli sesuatu yang harus dia beli di setiap hari; cendol merah muda Wak Asti. Dirinya sangat menyukai rasa cendol itu, manis tanpa pemanis. Masih mengenakan seragam sekolahnya yang sedikit lusuh ia berjalan perlahan menuju kedai Wak Asti yang berada di dekat pedagang bumbu-bumbu dapur. Matanya menyapu sekeliling pasar yang selalu ramai, tetapi sedikit membuat gadis pendiam itu risih. Rasanya selalu tak nyaman apabila berada di tengah kebisingan orang lain, tak enak bagi hatinya. Panas cuaca dan keributan pasar membuat tubuhnya sedikit kepanasan, makanya dia membutuhkan es cendol merah muda Wak Asti. Sampainya di kedai Wak Asti, kedai itu tampak ramai dan Wak Asti sedikit kewalahan dalam melayani pelanggannya. Lana sedikit merasa kasihan pada Wak Asti yang tampak kelelahan karena ia tidak memiliki seorang pegawai sedikitpun. "Wak Asti, saya bantu ya," ujarnya lalu mencoba membantu Wak Asti. "Tidak perlu, Nak Lana. Wak tahu Nak Lana pasti lelah habis pulang sekolah," tolak Wak Asti tidak enak. "Tidak apa-apa. Saya bisa bantu, Wak," ujar Lana pasti. Wak Asti tak sempat lagi menolak karena pelanggan semakin berduyun-duyun mendatangi kedainya. Lana dengan cekatan membantu Wak Asti untuk meringankan pekerjaannya. Ia bisa memasukkan es ke dalam gelas, menambah gula atau menambah cendolnya karena selama ini ia selalu memperhatikan Wak Asti saat berjualan sehingga ia dapat dengan mudah mempelajari cara Wak Asti dalam menghidangkan es cendol merah muda yang terkenal enak itu. Di kedai Wak Asti tidak hanya menjual es cendol merah muda saja, terdapat juga macam-macam makanan ringan seharga seribu serta es kelapa muda dan es buah. Makanan-makanan yang dijual oleh Wak Asti sangat bersahabat pada kantong, sehingga kedainya acapkali ramai di setiap harinya. Setelah cukup lama membantu dan matahari sudah mulai turun dari peraduan tengah harinya, kedai Wak Asti perlahan menyepi dan es cendol merah mudanya juga sudah tinggal sedikit. Lana bahagia ketika melihat wajah Wak Asti berbinar memandangi tabung esnya yang sudah tinggal sedikit lagi, hari ini rezekinya lebih banyak daripada hari-hari kemarin. Betapa perempuan separuh baya itu bahagia. "Es seperti biasa, Nak?" tanya Wak Asti ketika tidak lagi ada pelanggan di kedainya. "Iya, Wak. Tidak perlu dibungkus, saya mau minum di sini saja," jawab Lana. "Wah, kita bisa mengobrol berarti, Nak," ujar Wak Asti sementara Lana hanya menyampirkan senyum pada wajahnya. Pasar sudah mulai sepi seiring siang yang perlahan berganti. Sebentar lagi pukul tiga sore dan Lana harus sudah di rumah pukul empat sore untuk membantu ibunya. Setelah menunggu tidak lama, jadilah es cendol merah muda yang sangat ia sukai dihidangkan oleh Wak Asti. "Nak Lana sekolah di mana?" tanya Wak Asti membuka bicara. "SMA Bumi Nusa, Wak," jawab Lana singkat. "Nak Lana ini memang pendiam, ya?" tanya Wak Asti lagi, sementara Lana hanya tersenyum kikuk. "Alhamdulillah, hari ini kedai sangat ramai, Nak Lana. Apa ini karena bantuan dari Nak Lana, ya?" pikir Wak Asti. "Rezeki dari Allah, Wak," balas Lana ringkas. "Iya, Alhamdulillah Wak bisa membayarkan biaya sekolahnya si Deden besok, Nak Lana," terang Wak Asti. "Alhamdulillah," balas Lana dengan mata yang berbinar. "Tapi besok Wak tidak jualan, Nak Lana. Besok Wak mau bayarkan sekolahnya si Deden, mau mengajak dia jalan-jalan juga ke pantai. Sudah lama Wak sama dia tidak jalan-jalan, hehe," ujar Wak Asti. "Tidak apa-apa, Wak," jawab Lana. "Wak, esnya Lana bungkus satu untuk ibu," pintanya. Wak Asti dengan cekatan membuat pesanan Lana, dirinya membuat dua bungkus sekaligus sebagai bonus untuk Lana karena sudah membantunya. "Banyak sekali, Wak," ucap Lana saat menerima bungkusan es yang dia pesan. "Tidak apa-apa, itu bonus," jawab Wak Asti. "Ya sudah, ini uangnya, Wak," ujar Lana sembari memberi uang sepuluh ribu. "Tidak perlu bayar, Nak," tolak Wak Asti, "Wak mau berbagi rezeki sama Nak Lana, walaupun hanya es cendol. Anggap saja ini ucapan terima kasih dari Wak untuk Nak Lana," jelasnya sembari tersenyum. Lana mengangguk riang. "Terima kasih, Wak. Saya pulang dulu, Assalamualaykum," pamit Lana lalu melangkahkan kakinya meninggalkan kedai Wak Asti. "Waalaykumussalam, Anak Baik," balas Wak Asti seraya tersenyum. *** Lana berjalan menyusuri jalan pasar yang sudah tak ramai, menuju pangkalan Angkutan Kota yang akan membawanya ke g**g rumahnya. Membawanya menjumpai seorang ibu yang selama ini sudah merawatnya dengan baik, sehingga dirinya menjadi seperti ini. Menyapa senyum wanita paruh baya yang telah rela berkorban semua hal hanya untuk dirinya. Sesampainya di pangkalan angkot, Lana langsung menaiki angkot yang sudah hampir penuh. Dirinya hadir sebagai penumpang terakhir pada angkot itu sebelum angkot tersebut mulai berjalan. Angkot mulai berjalan meski pelan karena penumpang yang dinaikkan melebihi kapasitas yang seharusnya, kebiasaan. Di sepanjang perjalanan Lana hanya menunduk dan tak melihat ke arah jalan. Ia tidak takut apabila rumahnya akan terlewatkan karena kediamannya itu berada pada ujung jalur angkot melaju. Ketika sampai di ujung jalur, angkot akan berhenti dengan sendirinya dan ia akan turun, lalu meneruskan perjalanan melewati g**g kecil hingga tiba di depan pintu rumahnya. Lana mulai masuk ke dalam dunia khayalnya, merangkai kata menjadi kalimat di dalam otaknya. Setelah mendapatkan ide untuk melanjutkan tulisannya, Lana mengeluarkan buku catatan kecilnya lalu menuliskan ide tersebut secara garis besar pada bukunya. Ketika sudah sampai di rumah barulah ia menuangkan ide tersebut membentuk kalimat berujung paragraf. Lana adalah seorang penulis. "Sudah pulang sekolah masih menulis saja, Nak," ujar seorang ibu bertubuh gempal yang duduk di depan Lana. Ibu gempal ini nanti pasti akan diminta untuk membayar ganda karena duduknya menggunakan kursi dua penumpang jika kurus. "Tidak apa-apa, Bu," jawab Lana canggung, tidak terbiasa diajak berbicara dengan orang yang tak dikenal. Ibu gempal tersebut hanya tersenyum menanggapi jawaban dari Lana. Setelah setengah perjalanan untuk pulang ke rumahnya, di dalam angkot tersebut hanya tersisa Lana dan ibu yang tadi mengajaknya berbicara. Berjarak lima puluh meter, ibu gempal tersebut meminta berhenti pada supir angkot. "Duluan, Nak," pamitnya. "Hati-hati, Bu," jawab Lana tersenyum. Sekarang hanya ia sendiri yang tinggal di angkot tersebut, duduk di pojok yang bersudut. Tiba-tiba angkot tersebut berkedut-kedut lalu berhenti. Lana bingung melihat supir angkot turun dan melihat ke belakang, akhirnya iapun ikut turun. "Kenapa, Mang?" tanyanya. "Macet, Neng," jawab sang supir dengan muka yang kusut. "Yah ...," keluh Lana. "Rumah Eneng masih jauh?" tanya sang supir, Lana hanya mengangguk pasrah. "Iya, Mang," jawab Lana. "Mamang minta maaf, Neng. Eneng cari angkot lain saja, ya?" ucap sang supir dengan muka yang menyesal. "Ya sudah, Mang. Nih!" ucap Lana sembari memberikan selembar uang lima ribu. "Untuk apa, Neng? 'Kan Mamang tidak mengantarkan Eneng sampai ke rumah," tolak sang supir. "Tidak apa-apa, Mang. Kalau sampai rumah saya bayarnya sepuluh ribu, ini sudah setengah perjalanan artinya saya harus membayar jasa Mamang sejumlah lima ribu," terang Lana. "Ambil, Mang," desaknya. "Ya sudah, terima kasih, Neng," putus sang supir. "Sama-sama, saya permisi, Mang," pamit Lana lalu pergi. "Hati-hati, Neng," balas sang supir. Ketika ia membuka uang lima ribu itu, betapa hatinya terenyuh. *** Sudah lama Lana menunggu angkot untuk menyambung perjalanan pulangnya dan jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul empat sore. Ibu pasti khawatir padanya. Ibunya akan sukar mendapatkan kabar Lana jika ia pulang terlambat, karena dirinya tidak menggunakan telepon genggam, sehingga tidak bisa dihubungi. Keputusannya adalah ia harus berjalan untuk sampai ke rumahnya, karena sudah sulit mencari angkot pada jam yang sudah sore, jikapun ada angkot-angkot tersebut kebanyakan sudah dipenuhi oleh penumpang-penumpang dari pedagang di pasar. "Ya sudah, berjalan kaki saja," putusnya seraya menghela napas. "Mau aku temani?" Suara seorang laki-laki membuat Lana terperanjat dan sedikit menjauh. "Hei, kau takut?" tanya laki-laki itu ketika mendapati respon Lana yang seperti itu. Ditanyakan seperti itu Lana hanya bisa menunduk, tidak berani menatap apalagi berbicara. Rasa tak nyaman ketika bertemu dengan orang asing mulai menghinggapi dirinya, terlebih orang ini justru mengajaknya berbicara. "Kenalkan, namaku Bagas," ucap laki-laki itu mengenalkan diri seraya mengulurkan tangannya berniat mengajak Lana bersalaman. Tubuh Lana kian gugup dan bergetar, dirinya panik. "Kenapa kau memucat? Sakit?" tanya laki-laki itu lagi, sembari tangannya mendekati kening Lana. Tangan laki-laki yang bernama bagas itu menyentuh kening Lana untuk mengecek suhu tubuhnya. Mendapati perlakuan yang tak biasa dari orang asing membuat tubuh Lana merinding, dengan sigap ia mengambil langkah seribu dan berlari sekuat yang ia mampu. Bagas hanya tercengang melihat respon gadis yang ingin ia ajak berkenalan. "Sukar sekali mendapatkan teman di kota baru ini. Huh," ujarnya mengeluh. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Hubungan Terlarang

read
500.8K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
52.2K
bc

My Husband My Step Brother

read
54.8K
bc

SEXY LITTLE SISTER (Bahasa Indonesia)

read
307.8K
bc

Because Alana ( 21+)

read
360.3K
bc

SHACKLES OF GERALD 21+

read
1.2M
bc

The Unwanted Bride

read
111.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook