bc

PERBATASAN CINTA

book_age18+
852
FOLLOW
13.5K
READ
adventure
fated
sensitive
powerful
others
student
doctor
drama
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

COVER : MENGGUNAKAN APLIKASI AUTODESK SKETCHBOOK & BANNER MAKER 2019

----

Kehidupan bahagianya hancur sudah! Impiannya untuk tetap bertahan di ruangan ber-AC, menikmati fasilitas Rumah Sakit yang memadai, serta kebutuhan apapun yang mampu dia dapatkan dengan mudah tidak akan ada lagi. Dia sering mendengarkan kisah tentang perbatasan yang menyeramkan, banyak konflik, tidak aman, dan tentunya bukan tempatnya.

Rengga merasa takdirnya sudah tertukar ketika kakinya menginjakkan kakinya di pulau ini. Dia memang pintar, namun sayang sekali, jiwa patriotismenya rendah. Dia selalu menggerutu tentang tugas yang menurutnya tidak manusiawi. Dengan segala keterbatasan fasilitas yang ada di perbatasan Rengga bisa melihat kehidupan orang-orang pinggiran yang masih bisa bersyukur.

Belum lagi pertemuannya dengan Asti, seorang guru sekolah dasar yang ternyata bagian dari masa lalu Rengga. Asti masih mengingat dengan jelas bagaimana Rengga, namun sayangnya Rengga seperti tidak mengingat Asti. Apalagi ketika Lingga, seorang tentara di area perbatasan masuk diantara mereka, sebagai sahabat yang baik bagi Rengga dan seseorang yang menyukai Asti.

Lalu apakah yang akan terjadi dengan kisah mereka bertiga? Apakah Rengga akan kembali mengingat Asti atau melupakannya?

Karena perbatasan cinta, tidak hanya mengisahkan tentang percintaan antara laki-laki kepada perempuan atau sebaliknya. Namun, perbatasan cinta juga menceritakan tentang seseorang yang mulai mencintai negaranya.

chap-preview
Free preview
PROLOG
Pintu mulai terbuka. Ruangan dengan perabotan mahal dan juga aroma bunga melati segar mulai tercium di penciumannya. Rengga, laki-laki itu tersenyum ramah lalu sedikit membungkukkan badannya. Tangannya meraih handle pintu lalu menutupnya pelan-pelan. Mungkin, jika bukan karena panggilan itu, dia tidak akan pernah masuk ke ruangan mewah milik Profesor Leko—begitulah orang-orang memanggilnya. Seorang laki-laki paruh baya yang hampir tidak memiliki sehelai rambut pun di kepalanya. Dia adalah pemilik rumah sakit di mana Rengga selama hampir dua tahun belakang ini bekerja sebagai penanggung jawab di ruang UGD (Unit Gawat Darurat). "Duduklah Dokter Rengga, ada yang ingin saya bicarakan dengan anda. Mungkin anda sendiri sudah dapat menebaknya." Ucap Profesor Leko sambil menautkan jemarinya di atas meja. Seperti ada yang sulit keluar dari tenggorokannya.  Rengga mengangguk, duduk di depan pemilik rumah sakit seperti ini, mungkin adalah suatu kehormatan sekaligus malapetaka untuknya. Jika saja bukan karena tugas keluar, dia tidak akan pernah bertatap muka seperti ini. Dia juga heran, mengapa Profesor Leko, masih sempat untuk menghafalkan namanya. Dari banyaknya orang di rumah sakit ini, apakah hanya namanya yang sekiranya diingat? Sampai-sampai, Profesor Leko memberikannya posisi yang menurutnya sialan. "Mungkin sudah banyak cerita yang tersebar di rumah sakit ini tentang Dokter Arlando yang mengalami cidera kaki karena kecelakaan kemarin. Saya juga menyayangkan hal itu. Mengingat sebulan lagi Dokter Arlando harus bertolak ke Kalimantan untuk menjalankan tugas sebagai dokter pembantu di daerah." Profesor Leko menghela napas dalam-dalam, seperti mencari kata-kata yang pas. Rengga sendiri hanya bisa menatap atasannya itu dengan perasaan yang tidak karuan. Rengga sudah tahu apa yang ingin Profesor Leko katakan kepadanya, namun tetap saja dirinya harus mendengarkan pernyataan itu secara langsung. Dia tidak mau menebak-nebak semuanya, apalagi ini menyangkut hidupnya, karirnya, dan masa depannya. "Saya harap, anda mau menggantikan Dokter Arlando untuk bertugas. Ah, ini bukan perkara mau atau tidak. Tetapi saya terpaksa menetapkan anda untuk menggantikan Dokter Arlando sebulan lagi. Saya rasa, ini bukan keputusan yang sulit untuk saya lakukan. Mengingat anda adalah orang yang bisa diandalkan di rumah sakit ini. Saya paham, mungkin anda merasa tidak senang dengan tugas ini. Tapi saya sangat berharap jika anda menerima tawaran sebaik ini. Tidak semua dokter dan rumah sakit berkesempatan untuk terjun langsung ke lapangan." "Saya berharap lebih dengan anda, sangat! Saya selalu berharap anda bisa menjalankan tugas anda selama satu tahun ini dengan baik. Untuk masalah gaji dan tunjangan, saya akan pastikan dana anda penuh. Rumah sakit tidak akan mengabaikan semua tuntutan anda ataupun tunjangan yang anda minta. Semoga anda bisa mengambil hikmah dari penugasan ini. Siapa tahu, ada sesuatu yang bisa anda ambil dan pertimbangkan untuk masa depan anda ke depannya, Dokter Rengga." Ucap Profesor Leko seraya tersenyum. Rengga menghela napas panjang, akhirnya kata-kata itu meluncur juga dengan sangat lancar dari bibir Profesor Leko. Bagaimana bisa dia menolak? Bagaimana bisa dirinya menyanggah? Apa mungkin masih ada kesempatan untuk tidak datang? Rasanya tidak mungkin. Kehidupannya yang tenang ini, tiba-tiba hancur hanya karena penugasan gila ini. Padahal dia sama sekali tidak berminat. Tidak pula ikut andil dalam acara semacam ini. Bagi Rengga, sudah cukup kesibukannya selama ini. Menjadi kepala UGD atau dokter yang sering diandalkan bukan hal yang mudah. Pengalamannya di rumah sakit ini masih terbilang baru. Namun mengapa posisi seperti ini dengan mudah dia dapatkan. Lebih apesnya lagi, Rengga harus menggantikan dokter lain untuk melakukan pengabdian. Tempat semacam itu bukanlah rencana dalam hidupnya. Bagi Rengga, pengabdian tidak melulu hidup dan tinggal di tempat terpencil yang jauh dari fasilitas. Dia bisa mengabdikan dirinya di rumah sakit misalnya, jadi tidak perlu mengadakan acara yang menurutnya hanya berisi pencitraan semata. Rengga benar-benar sangat kesal, posisinya tidak menguntungkan. Dan itu membuatnya kesal, sangat kesal.  Umpatan demi umpatan, terlontar dengan parahnya di dalam hati Rengga. Bibirnya sudah terkunci untuk sekedar menolak atau menerima. Bukankah ini sudah final? Mau tidak mau, dia akan berangkat bulan depan. Padahal pembekalan hanya tinggal satu hari lagi. Itu artinya, persiapan untuk hatinya hanya akan dilakukan detik ini. Jika tidak ingat dengan nama rumah sakit ini, mungkin Rengga akan menghancurkan barang-barang di ruangan Profesor Leko. Andaikan, di depannya bukan orang penting, tidak segan rasanya untuk membuang surat tugas yang berada di depan mata. Perjuangan panjangnya untuk masuk ke rumah sakit ini adalah kenyataan yang menamparnya dengan sangat kasar. Rengga harus berpikir berulang untuk melakukan berbagai macam pemberontakan jika tidak mau di depak dari rumah sakit. "Bagaimana? Anda setuju kan? Saya janji, jika pengabdian anda berhasil, saya akan mempromosikan anda ke berbagai universitas terbaik yang bisa anda jadikan sasaran untuk segera melanjutkan studi anda." Tawar Profesor Leko kembali. Rengga mengangguk! Ini sudah selesai. Mau bagaimana caranya dirinya menolak, tidak akan bisa. Lagipula, tawaran untuk melanjutkan studi adalah impiannya. Jika bisa tanpa biaya, kenapa tidak? Rengga tidak munafik jika dirinya memang memerlukan rekomendasi universitas terbaik lanjutan untuk menunjang karirnya. Profesor Leko tersenyum, menyodorkan telapak tangan kanannya untuk bersalaman dengan Rengga. Senyuman palsu berusaha Rengga ciptakan. Beberapa saat kemudian, Rengga keluar dari ruangan itu dengan wajah yang menekuk sempurna. Sebuah amplop dengan logo rumah sakit berada dalam genggamannya. "Sialan..." umpatnya pelan sambil menatap pintu kayu di depannya. Perlahan Rengga melangkah pergi meskipun dengan hati yang setengah masih dongkol. Ini bukanlah sebuah permainan dokter-dokteran yang bisa dimainkan siapa saja. Bukan pula sebuah minat atau cita-cita yang ingin dia lakukan. Rengga sama sekali tidak merencanakan hidupnya untuk tinggal di area perbatasan atau sejenisnya. Dia hanya ingin hidupnya tenang. Tidak seharusnya ada pemaksaan di dalamnya. Hanya karena Dokter Arlando tidak bisa ikut, sekarang dirinyalah yang dijadikan kambing hitam. Rengga benci semua ini, ketika dirinya tidak berdaya untuk mengatakan tidak. Beberapa temannya menyapa, tetapi hanya Rengga tanggapi dengan senyuman masam. Mungkin orang-orang rumah sakit sudah hapal bagaimana Rengga bersikap. Dokter yang memiliki mood parah. Mudah berubah dengan cepat dan tidak bisa dikontrol. Apalagi tentang penugasan itu sudah menyebar entah sejak kapan. Yang jelas, Rengga belum membuka amplop itu. Andaikan saja semuanya hanya prank ketika membuka amplop ini! Mungkin itulah doa yang selalu Rengga ucapkan selama berjalan. Berharap jika Dokter Arlando sembuh dan bisa pergi sendiri. Dalam keadaan seperti ini, masih saja telinganya menangkap bisik-bisik pegawai rumah sakit yang merasa iri dengan posisi yang dia dapatkan. Katanya, susah mendapatkan hati Profesor Leko apalagi ditunjuk untuk mewakili rumah sakit. Biasanya, dalam acara penting atau penugasan seperti ini, diambil dokter yang sangat berpengalaman agar bisa langsung bekerja dengan baik di sana. Namun kali ini, kenapa harus Rengga? Dokter baru yang masih sedikit dan minim pengalaman? Kenapa Rengga? ### Hidangan di atas piring aluminium itu tampak tidak menggoda lagi. Padahal perutnya sudah keroncongan karena belum terisi sejak pagi. Aroma obat-obatan masih begitu kentara di penciumannya. Beberapa orang dengan jas putih berlalu lalang, mungkin sedang mengambil jatah makan sepertinya. Rengga meletakkan sendoknya di atas nampan makanannya. Rasanya tidak berselera untuk menyentuh sedikit pun makanannya. "Kenapa enggak di makan, bro?" Tanya seorang laki-laki dengan nametag di dadanya bertuliskan namanya—Sakti. Rengga menggeleng lalu meminum teh panasnya yang sudah terlanjur dingin. Pikirannya semrawut, ditambah lagi tumpukan pasien di UGD hari ini tidak tanggung-tanggung. "Kamu udah tahu kalau aku yang bakalan diberangkatkan ke daerah pedalaman itu?" Tanya Rengga kepada Sakti yang tengah menikmati makanannya. Sakti mengangguk, siapa yang tidak tahu kabar itu? Bahkan sebelum ada surat tugas itu, satu rumah sakit sudah bisa menebaknya. Siapa lagi yang akan diutus keluar jika bukan Rengga. Si dokter muda berbakat dengan yang tiba-tiba langsung diberikan tanggung jawab sebagai ketua UGD hanya dalam waktu dua tahun bekerja. Apakah itu tidak luar biasa? Bahkan hal itu sudah menjadi kecemburuan sosial sejak awal. Maka dari itu, sosialisasinya di rumah sakit benar-benar sulit. Orang-orang seperti antipati dengannya. Tidak mau membantu jikalau dirinya merasa kesulitan dengan beberapa hal ketika awal-awal bekerja di rumah sakit ini. Katanya, orang cerdas sepertinya, tidak perlu bantuan orang lain. "Enggak usah dipikirin lah, mereka cuma iri aja. Ini kan kesempatan langka, Ga. Siapa tahu dapat jodoh di sana. Biar kamu enggak kelamaan jomblo terus." Jawab Sakti dengan santai. Rengga mendengus sebal. Dia tidak pernah berharap mengikuti acara semacam ini. Menurutnya, semua ini sangat merepotkan. Dia juga tidak pernah meminta untuk selalu diistimewakan karena apa yang dirinya dapatkan saat ini adalah bentuk usahanya. Jika mereka iri dengan pencapaiannya, itu bukan salahnya. Tapi salah mereka sendiri yang tidak bisa berusaha lebih keras darinya. Mungkin hanya Sakti, satu-satunya orang yang waras di rumah sakit ini. Sekaligus teman satu-satunya yang dia miliki selama kurang lebih dua tahun belakangan ini. Tetapi bagi beberapa orang, keduanya adalah orang aneh yang saling berkolaborasi. Menyedihkan! Bedanya, Rengga tidak pernah peduli dengan orang lain. Sedangkan Sakti sangat mempedulikan orang lain meskipun selalu kurang dan salah. Rengga hanya menerapkan apa yang orang lain lakukan padanya. Jika tidak suka, Rengga sama sekali tidak peduli. Sikapnya yang terkenal bodo amat, mungkin membuat orang semakin kesal kepadanya. Terkadang, menjadi orang yang masa bodoh, lebih menguntungkan daripada orang yang terlalu peduli namun tidak pernah dihargai. "Enak ya, jadi kesayangan Profesor. Sampai-sampai langsung dikasih kesempatan terbaik kaya gini. Bisa menggantikan Dokter Arlando yang kualitasnya diatas-atas-atasnya lagi dari Dokter abal-abal." Sindir seorang perempuan dengan membawa nampan melewati meja dimana Rengga sedang duduk dengan Sakti. Rengga menggebrak meja, matanya menatap tajam ke arah perempuan itu. Kesabarannya benar-benar di ubun-ubun. Jika boleh memilih, dia tidak akan datang ke tempat itu. Menikmati ruangan dengan fasilitas lengkap saja, sudah cukup baginya. Lalu? Kenapa harus mencari muka dengan blusukan ke daerah. Memangnya, Rengga senang? Memangnya ini kemauannya? Jika bisa, dia akan menolak. Andaikan karirnya akan aman, Rengga tidak segan untuk menolak. Gajinya sudah lebih dari cukup, tidak perlu mencari tunjangan sampai keluar pulau. Mereka bahkan tidak tahu kebenarannya, tetapi sudah pintar menghakimi. Entahlah berani menilai dari sisi apa, yang jelas mereka hanya tahu jika semua didapatkan dengan instan dan tanpa usaha sama sekali. "Enggak usah banyak bacod deh! Kalau memang mau posisi yang dikasih sama saya, harusnya anda banyak belajar. Penuhi apa yang seharusnya anda penuhi agar memenuhi target Profesor Leko. Saya duduk di sini dan saya dipanggil di ruangan Profesor, pasti dengan banyak alasan dan pertimbangan. Saya bukan orang yang dengan gampangnya ongkang-ongkang kaki menunggu keberuntungan datang di depan mata saya. Dokter Vivi yang terhormat, anda memiliki banyak pengalaman di atas saya, bahkan umur yang jauh di atas saya. Tetapi, kenapa anda tidak menanyakan sendiri tentang kegagalan anda selama ini. Kenapa tidak berusaha menyalahkan diri sendiri atas apa yang tidak bisa anda miliki." Ketus Rengga yang diakhiri dengan tepuk tangan Sakti. Sakti menurunkan kedua telapak tangannya setelah mendapat banyak pelototan dari senior-seniornya. Sedangkan Rengga buru-buru keluar dari suasana tidak menyenangkan seperti ini. Setidaknya, beban di dalam pikirannya sudah terbuang dengan tidak sia-sia. Sudah lama rasanya Rengga ingin meneriaki perempuan tua itu. Ya, semacam dendam terpendam karena beberapa tahun belakangan ini, Dokter Vivi memang orang yang paling sering menyulitkannya. Dandanannya yang menor dengan bibir tebal yang dipoles lipstik warna merah, membuat perempuan itu semakin terlihat judes. "Rengga..." Panggil Sakti dari belakang setelah berusaha membelah kerumunan manusia yang bergerombol di kantin rumah sakit tadi. Rengga menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang. Telapak tangan kanannya melambai, meminta Sakti untuk mendekat. Dengan semangat, Sakti berlari mendekat lalu berjalan bersama dengan Rengga. Mereka sudah seperti orang-orang yang terbuang. Namun, dari yang terbuang itu muncul kekuatan yang sangat luar biasa. "Kamu keren deh! Dokter Vivi lho ini. Enggak ada yang berani sama dia selama ini. Tapi kamu? Kamu orang yang paling berani untuk negur dia. Baguslah! Biar dia bisa sadar diri dan enggak menganggap junior orang yang enggak berdaya." Ucap Sakti dengan semangat. Pasalnya, Dokter Vivi dianggap orang yang sangat menyebalkan. Membuat beberapa orang merasa tidak nyaman karena sindirannya. Senior cerewet yang dikenal sok tahu dan galak. Apalagi sikapnya yang sering mendoktrin beberapa junior juga dikatakan tidak pantas. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa perempuan itu masih sendiri sampai sekarang. Kadangkala namanya juga menjadi bulan-bulanan umpat-umpatan beberapa junior. Walaupun mereka melakukannya dengan diam-diam.  "Sudahlah! Aku mau kembali ke ruangan lagi. Kalau misalkan ada masalah lagi, aku malas berdebat. Biarkan saja dia mengadu atau semakin benci padaku. Yang jelas, aku sudah menekankan hal ini padanya. Setidaknya Dokter Vivi tidak akan seenaknya menilai." Jawab Rengga yang berjalan mendahului Sakti. Ini adalah hari yang panjang untuk dirinya. Sudah cukup mendengar banyak omong kosong tentang tugasnya. Jika boleh memilih, maka biarkan Rengga memilih untuk tetap bertahan di rumah sakit ini. Tidak perlu melakukan kerja lapangan selama satu tahun dengan resiko yang tidak bisa dibicarakan.  ###

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Noda Masa Lalu

read
183.6K
bc

Kamu Yang Minta (Dokter-CEO)

read
292.7K
bc

Rujuk

read
907.8K
bc

Love Match (Indonesia)

read
172.8K
bc

T E A R S

read
312.6K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
15.5K
bc

Hate You But Miss You

read
1.5M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook