Chapter One - The Beginning ✓

1328 Words
Ponsel hitam itu terus saja bergetar di atas meja kaca di ruang kerja miliknya. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, para pegawai kantor Ran's Company telah kembali ke rumahnya masing-masing terkecuali sang pemilik. Pria dewasa itu tampak sibuk dan tenggelam dalam suasana kantor yang sepi. Ponsel hitam nan elegan itu tampak bergetar sedari tadi, sedangkan pria itu tak menyadarinya. Terlarut dalam suasana yang nyaman untuknya bekerja. Suara hujan begitu deras, seakan berlomba-lomba siapa yang cepat untuk menghantam bumi terlebih dahulu. Dapat di pastikan jalan di ibukota Jakarta akan penuh dengan genangan air di pinggir jalan. Sejak dua jam yang lalu hujan mengguyur, tampak tak ada tanda-tanda untuk mereda. Mungkin pria dewasa itu akan menginap di kamar pribadi yang ada di ruangannya. Tak memungkinkan jika ia pulang dan menerobos hujan. Tok Tok Tok Suara ketukan pintu membuat konsentrasinya berpindah pada pintu kaca di depannya. "Masuk!" ucap pria yang duduk di kursi kebesarannya, Saka. Tak lama pintu terbuka, menampakkan sesosok pria bertubuh jangkung. Raut khawatir tampak begitu jelas di wajahnya. "Ada apa kau kemari Romi?" tanya Saka. "Maaf mengganggu Anda Pak! Nyonya Sofia masuk rumah sakit," ucap pria bertubuh jangkung itu. "APA?!" "Bagaimana keadaan Sofia sekarang?" raut cemas Saka begitu kentara. "Nyonya Sofia masuk ICU. Kami sudah menghubungi Anda, namun anda tidak menjawab panggilan saya. Keadaan sangat emergency Pak!" Seketika Saka melihat di mana letak ponselnya, dan benar saja ketika ia hidupkan banyak panggilan tak terjawab dari Mamanya dan asistennya, Romi. "Siapkan mobil, kita ke sana sekarang!" Romi mengangguk dan segera menyiapkan mobil. Saka keluar dan memasuki mobil yang telah berada tepat di depan kantornya. Dengan Romi yang berada di bangku kemudi, tak memungkinkan jika Saka yang menyetir jika kondiri pikiran dan hatinya kalut. Apa yang terjadi sebenarnya, hingga Sofia masuk ICU. Di tengah hujan yang begitu deras, Romi mengemudikan mobilnya dengan begitu lihai. Cepat namun berhati-hati. Romi sama cemasnya dengan Saka, karena memang ia yang mengantar Sofia ke rumah sakit saat di temukan oleh Risma, ibu Saka, yang pingsan di kamar. Panik melanda seisi rumah, dengan tergesa Romi membawa Sofia ke rumah sakit bersama Oma Risma, Mama Saka. Mereka mencoba menghubungi Saka, namun pria berusia awal tiga puluhan itu terlalu larut dalam kesibukan bekerja hingga tak menyadari penggilan di ponselnya. Terpaksa, Romi mendatangi kantor, karena memang sudah menjadi kebiasaan Saka bekerja hingga larut malam bahkan tak pulang. Dan di sinilah Romi sekarang, mengantar Saka ke rumah sakit tempat di mana Sofia sekarang. Tiba di rumah sakit, Saka berlari melewati koridor menuju ruang ICU. Tampak, sang ibu menangis tersedu-sedu dengan tangan yang menutupi wajahnya. "Ma!" Mendengar suara yang amat ia kenal, Oma Risma menolehkan pandangannya. Ia melihat putranya terlihat kacau dan khawatir. Seketika Oma Risma menghambur ke pelukan putranya, menumpahkan kembali air matanya. "Saka.. Hiksss, Sofia dalam keadaan yang buruk. Janinnya harus di operasi sekarang.. Hikss, Mama takut, Mama khawatir dengan Sofia, Saka," ucap Oma Risma disertai dengan derai air mata. "Sofia akan baik-baik aja, Mama jangan khawatir. Pikirkan juga kondisi Mama, Mama tenang dulu ya," ucap Saka lembut. Ia berusaha menenangkan kekhawatiran Mamanya. Tak lama pintu ICU terbuka, menampakkan seorang dokter wanita bernama Maria. "Keluarga pasien Nyonya Sofia." ucap Dokter paruh baya itu. "Saya suaminya Dok!" ucap Saka menghadap ke arah sang Dokter. "Ada yang harus saya bicarakan kepada Bapak. Mari ikuti saya" "Baik!" Saka menoleh pada Risma, "Ma, Saka ikut Dokter dulu ya. Mama tidak perlu khawatir, semua akan baik-baik saja." "Iya, Mama berharap Sofia dan janinnya baik-baik saja," ucap Oma Risma. Saka mengangguk tersenyum menenangkan, lalu berbalik dan menemukan Romi yang berdiri tak jauh darinya, lantas ia menghampiri Romi. "Saya titip Mama, jaga beliau." ucap Saka. "Baik Pak!" Saka berjalan menuju ruangan Dokter paruh baya itu. Tiba di ruangan, ia di persilahkan untuk duduk terlebih dahulu. "Silahkan duduk dulu Pak!" ucap Dokter Maria. "Apa yang terjadi dengan Sofia Dok? Dia baik-baik saja bukan?" tanya Saka. Dokter Maria mengambil salah satu map yang ada di ataa mejanya, "Ini adalah hasil pemeriksaan Nyonya Sofia." Saka menerima map tersebut, sembari mendengar ucapan Dokter Maria. "Nyonya Sofia menderita tumor rahim, tumor tersebut tumbuh dan berkembang bersamaan dengan janin yang di kandung Nyonya Sofia. Dan saya telah prediksi jika tumor tersebut ada sejak awal kehamilan, namun sepertinya Nyonya Sofia menghiraukan tumor tersebut, dan keadaan semakin memburuk." Penjelasan Dokter Maria membuatnya tercengang. "Tumor rahim? Sejak awal kehamilan?" "Benar Pak!" ucap Dokter Maria tegas. "Tapi, saya tidak tau apapun Dok. Sofia tidak pernah mengatakannya. Saya mengira tidak ada masalah apapun dengan kandungannya." "Karena memang dalam kasus ini, janin harus di gugurkan bersamaan dengan tumor tersebut. Menurut saya, Nyonya Sofia lebih memilih untuk melahirkan anaknya. Sejak awal Nyonya Sofia telah mengetahui resiko ini Pak." "Dan kami akan melakukan operasi untuk Nyonya Sofia malam ini. Dalam operasi kali ini, kami meminta persetujuan Anda, siapa yang akan kami prioritaskan di antara ibu dan janinnya." "Apa maksud Dokter jika, saya harus kehilangan salah satu dari mereka?" Saka tercengang mendengarnya. "Mohon maaf Pak, hanya keajaiban dari Yang Kuasa, yang dapat menyelamatkan keduanya. Kami selaku Dokter hanya dapat berusaha semaksimal mungkin." "Saya ingin keduanya di selamatkan! Berapapun biayanya, akan saya tanggung Dok!" "Kami mengerti Pak, namun anda harus memilih siapa yang harus kami utamakan keselamatannya. Kasus seperti ini sangat tipis tingkat keberhasilan untuk ibu dan janin." Saka merasakan segala gejolak emosi dalam batinnya, bagaimana ia harus memilih salah satu di antara keduanya? Siapa yang harus Saka pilih, Sofia atau bayinya? Pikiranya berkecamuk tak karuan. Saka tak ingin mengorbankan salah satu, namun jika seperti ini apa yang harus Saka lakukakan? Ia berada di dalam situasi yang cukup sulit. Lama Saka termenung dan memikirkan dengan baik. Ia melihat ke arah Dokter dengan tatapan seriusnya. "Selamatkan istri saya Dok, selamatkan Sofia." *** Saat kau menemukan surat ini, aku pasti sudah tiada. Maafkan aku Mas Saka, yang telah membawamu masuk ke dalam masalahku. Kamu yang paling berjasa atas segala kesalahan yang telah aku lakukan. Kamu yang bertanggung jawab atas anugrah terindah yang aku miliki. Meskipun kamu bukan ayah kandungnya, aku tau hidupku tak lama lagi. Karena kedua orang tuaku telah mengajakku untuk bersamanya. Aku mohon jaga dia untukku. Dia yang kecil tak berdosa Dia yang tampan tak terkalahkan Dia yang manis selalu ku beri senyuman Dia yang akan selalu kurindukan Dia yang belum pernah kutimang Dia yang belum pernah kuberi pelukan untuk yang pertama dan terakhir Kumohon Mas, jaga dia karena aku sudah tak mampu menjaganya lagi. Karena waktu ku sudah berakhir. Tapi, aku tak pernah hilang. Karena aku selalu menjaganya dari atas sana. Yang terkasih Sofia Saka meremas kuat kertas yang ada ditangannya. Dia merasa kecewa akan rahasia penyakit Sofia. Ia merasa gagal menjadi seorang suami bagi Sofia. Ya, Sofia meninggal saat operasi sedang berlangsung. Pergi di saat semua masih menjadi abu-abu di mata Saka. Bahkan Sofia belum sempat bertemu dan melihat bayinya, ia sudah berpulang. Sofia sudah tak sanggup untuk merasakan sakit lagi. "Maaf, aku telah gagal menjadi suami untukmu Sofia, gagal bertanggung jawab atas posisi yang aku sandang sekarang. Nyatanya kau hanya meninggalkan luka untuk orang yang kau cintai dan bayimu sendiri," lantas Saka meninggalkan kamarnya menuju ruang tengah yang sekarang di penuhi oleh keluarga yang berbela sungkawa. "Saka ... Kita akan menguburkan jenazah Sofia ke pemakaman," Oma Risma, memberi tau Saka yang mematung di ujung anak tangga. Saka hanya mengangguk menyetujui. Menggiring jenazah Sofia ketempat peristirahatan terakhir. Kini, tinggal Saka yang berdiri di depan batu nisan Sofia. Memandangi lekat-lekat batu nisan bertuliskan Sofia binti Randoko, seakan-akan itu adalah wujud Sofia yang asli. "Aku akan menjaga bayimu, merawat dan memberi kasih sayang, Sofia. Tapi, aku menyesal karena aku menjadi suami yang buruk untuk mu." Saka lantas pergi dari area pemakaman. Meninggalkan sesosok wanita cantik bergaun putih yang berdiri disamping batu nisan. Menatap Saka dengan raut sedihnya lalu menghilang diterpa angin. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD