Perkenalan

1717 Words
Berjam-jam mendekap gitar, tak satu pun lagu Ayek nyanyikan sampai selesai. Meskipun jari-jarnya lincah memainkan senar, suaranya juga sesuai nada, tapi tak ada penjiwaan sama sekali. Raganya di sini, tapi pikirannya terbang tak tentu arah. Hatinya resah, senada dengan awan tebal yang menggantung pasrah. Hujan tinggal menunggu waktu saja untuk turun. Seperti seseorang yang katanya siang ini akan datang. Orang itulah yang membuat Ayek gelisah. Ia tak menginginkan 'calon tamu' itu, tapi ia ingin segera bertemu agar urusannya cepat selesai, agar kegelisahannya segera hilang. Sejak pindah ke rumah ini, hanya ada tiga macam orang yang bertamu ke rumah Ayek. Pertama, orang meminta uang. Kedua, orang berwajah galak. Ketiga, orang meminta uang dengan wajah galak. Mereka adalah orang yang sama, yaitu Debt Collector. Jika diharuskan memilih antara: bisa makan tapi punya hutang atau susah makan tapi hati tenang, maka Ayek akan membuat pilihan ketiga, yaitu bisa makan dengan hidup tenang. Tetapi hidup tidak selalu seperti yang diharapkannya. Sejak kecil ia terbiasa senang. Orang tuanya kaya. Hampir semua yang ia inginkan tercapai. Sampai akhirnya semua berubah drastis ketika ayahnya jatuh sakit selama belasan tahun. Satu per satu harta keluarganya dijual untuk biaya pengobatan. Bahkan ketika meninggal, ayahnya mewariskan hutang yang cukup besar. Beruntung, Ayek bukan tipe anak manja. Meskipun menjadi anak tunggal, ia terdidik untuk selalu hidup sederhana, terlatih mengerjakan segala sesuatu secara mandiri, dan terbiasa bersyukur dalam segala situasi. Rumah mewah, satu-satunya harta peninggalan ayah yang tersisa sudah disita bank karena tidak mampu membayar pinjaman. Terpaksa Ayek dan Zaenab, ibunya, mencari rumah kontrakan agar tetap bisa berteduh. Di sinilah ia sekarang, menempati rumah mungil di Slawi, sebuah kota kecil di bagian barat Jawa Tengah. Pindah alamat, membuat Debt Collector marah. Ayek dituding menghindari tanggung jawab. Jika dulu cara menagihnya secara halus, sekarang galak. Bahkan kadang tidak segan mengancam akan menggunakan kekerasan. Semua dihadapi Ayek dengan sabar. Dulu, ketika rumah disita bank, Ayek mengira semua urusan hutang telah selesai. Ternyata pinjaman pada sebuah koperasi simpan pinjam masih cukup besar jumlahnya. Yang membuat ia tak habis pikir adalah kenapa bank sekecil itu memiliki Debt Collector yang cukup galak? Hari ini jatuh tempo, sehingga ketika ada seorang perempuan muda sedang berdiri di ambang teras rumahnya, Ayek menduga, seandainya orang itu bukan sedang mencari alamat, kemungkinan adalah istri si Debt Collector. Tetapi ia buru-buru meralat dugaannya demi melihat sang tamu menenteng tas kresek. "Ummi ada?" tanya perempuan muda itu kepada Ayek. Pandangan Ayek menyisir tubuh si penanya, dari rambut sampai sandal jepit. Dari penampilannya, ia yakin perempuan itu bukan penagih hutang. Namun, untuk memastikan, ia bertanya balik. "Kamu bukan Debt Collector 'kan?" Sepasang alis perempuan muda itu terangkat bersamaan, sampai terbentuk guratan-guratan halus di dahinya. Seketika merinding bulu kuduk Ayek. Kalau biasanya ia merinding karena takut, sekarang merinding karena darahnya berdesir. Ayek tak mengerti, bagaimana bisa hanya dengan mengangkat sepasang alis saja perempuan di hadapannya tampak menarik? "Jadi, Ummi ada ndak?" Perempuan muda itu mengulangi pertanyaan dengan sedikit menaikkan intonasi. Ayek terkesiap. "Oh, Ummi, ya? A-ada. Silakan masuk!" Perempuan muda berusia dua puluh dua tahun itu mendesah, menahan sabar. Bagaimana ia akan masuk kalau jalannya masih terhalang? Ayek terkekeh, menyadari kekonyolannya. Ia segera menggeser badan, memberi jalan tamunya untuk masuk teras. Ayek memencet bel yang berada di dekat pintu. Assalamu alaikum, begitu bunyinya. Ia geli sendiri, memasang bel di rumah sekecil itu, tak berfaedah. Padahal suara ketukan pintu bisa terdengar ke seluruh sudut rumah. Namun, bel itu adalah satu-satunya benda kenangan yang ia punya. Sebelum rumah disita, ia terlebih dulu menyimpannya untuk dipasang di tempat tinggal yang baru. "Wa alaikum salam!" sahut Ummi dari dapur. Ia melongok ke arah pintu depan. Begitu tahu siapa yang barusan memencet bel, dia langsung marah. "Ayek, jangan ngerjain Ummi!" Ayek terkekeh. Ia memang suka menggoda ibunya, seolah ada tamu, padahal tidak. Maka itu ia buru-buru meluruskan. "Ada tamu beneran, Ummi! Bukan Debt Collector, kok!" Zaenab segera keluar dengan wajah cemas. Ia belum siap uang seandainya yang datang adalah Debt Collector. Namun wajahnya mendadak semringah ketika mendapati perempuan muda sedang berdiri di teras rumahnya. Ummi melempar senyum. "Oh, Mei Hwa. Silakan duduk!" Perempuan yang dipanggil dengan sebutan Mei Hwa itu membalas senyum. Buru-buru ia menyerahkan sebuah bingkisan terbungkus kresek pada Ummi. "Ini ada sedikit Kue Keranjang dari Mamah." "Masya Allah, barusan Ummi membatin pengen makan Kue Keranjang." Ummi sigap, menerima bingkisan. "Sampaikan terima kasih Ummi pada Mamah, ya?" Mei Hwa tersenyum. "Iya, Ummi." "Kamu duduklah dulu. Ummi mau mengambil sesuatu buat Mamah kamu. Tunggu sebentar." Ayek tersenyum simpul, melihat mimik Mei Hwa yang tampak sedang gelisah. Ia yakin gadis itu merasa serba salah, ingin segera pulang, tetapi tidak enak menolak permintaan Ummi. Dengan gestur pasrah, Mei Hwa mengangguk. Matanya sempat melirik ke luar, intensitas gerimis tampak lebih banyak dari sebelumnya. Ummi masuk ke rumah. Sementara Mei Hwa masih berdiri di depan pintu dengan perasaan gelisah. Bukan kali ini saja ia disuruh menunggu dengan embel-embel 'sebentar', dan semuanya tidak ada yang benar-benar sebentar. Kegelisahan Mei Hwa mulai memuncak ketika gerimis yang sudah turun sejak sejam lalu, mulai lebat. Bahkan sebelum ia selesai mendengus, hujan turun dengan deras. Sejak tadi Ayek memperhatikan Mei Hwa sambil senyum-senyum. Ia lebih suka melihat gadis itu berdiri karena itu membuatnya leluasa untuk mencuri pandang. Ditatapnya lekat-lekat wajah oval terbungkus kulit kuning itu, tidak terlalu cantik, tapi juga masih di atas rata-rata. Posturnya juga ideal, tidak gemuk, tidak kurus, sedang-sedang saja. Berdasarkan matanya yang agak sipit, juga dari namanya, Ayek yakin gadis itu keturunan Tionghoa. Meski masih ingin berlama-lama memandang Mei Hwa, namun naluri gentleman-nya keluar. Ia tak akan membiarkan gadis itu berdiri lama. Di teras hanya ada dua kursi. Satu ia duduki, satunya yang tadi dipakai untuk meletakkan gitar akan ia siapkan untuk gadis manis itu. "Duduk, Mei." Ayek mengambil gitar dari kursi, memberi tempat untuk Mei Hwa. Mei Hwa menoleh. Ia bimbang, akan duduk atau tetap berdiri sampai waktu yang belum bisa dipastikan. Menimbang derasnya hujan, ia memutuskan untuk menerima tawaran Ayek. Sedikit kikuk, ia duduk bersebelahan dengan lelaki yang sepertinya tidak asing baginya. “Jadi namamu Mei Hwa?” Hanya itu yang terlintas pertama dalam benak Ayek untuk memulai pembicaraan. Mei Hwa mengangguk kaku, sedikit menempatkan senyum pada bibir tipis yang tampak merah meskipun tak memakai lipstik. “Namaku Ahmad,.” ujar Ayek memperkenalkan diri sambil memeluk erat gitarnya. Baru kali ini ia merasa canggung. “Iya, aku sudah tahu. Ibumu sering memanggilmu dengan sebutan Ayek!” sahut Mei Hwa. Ia memang sering mendengar nama itu disebut, cuma baru kali ini ia tahu seperti apa sosoknya. Ayek mengernyit, tak kuasa menyembunyikan perasaan ge-er bercampur heran. Keluarganya baru dua bulan pindah ke rumah ini. Bahkan dia jarang berada di rumah, sehingga sedikit aneh jika ada seorang gadis cantik mengetahui namanya. “Kamu kok tahu namaku?” “Tahulah! Ummi-mu sering teriak memanggilmu! Suaranya kedengaran sampai kamarku tahu.” Mei Hwa mengucapkannya sambil pandangannya mengawasi ke dalam rumah, takut ucapannya terdengar Ummi. "Tunggu!" Ayek memandang Mei Hwa sambil mencerna kata-kata gadis itu. Ia membuat sebuah analisa, jika benar gadis itu bisa mendengar teriakan Ummi dari kamarnya, berarti rumahnya tidak jauh dari sini. Itu artinya, mereka masih tetanggaan. "Suruh menunggu apa lagi? Dari tadi aku menunggu Ummi keluar!" Mei Hwa sedikit kesal. "Eh, iya. 'Sebentar' buat Ummi itu paling tidak lima belas menitan, lho," goda Ayek sambil garuk-garuk kepala. Namun ia tak akan membiarkan Mei Hwa bete. "Jadi rumah kita saling berhadapan?" Mei Hwa mengangguk, sedikit tersenyum geli. Rumah mereka memang berdekatan, hanya berjarak lima langkah kaki, namun tidak saling berhadapan. Bagian depan rumah Ayek menghadap bagian belakang rumah Mei Hwa yang menghadap jalan raya. “Kalau teriakan Ummi bisa kamu dengar, kemungkinan kamarmu berada di bagian belakang, benar begitu?" tebak Ayek. Mei Hwa mengangguk. Pandangannya sempat meilirik gitar dalam pelukan Ayek. Ada sebuah stiker berlogo band di alat musik berdawai itu. Ia yakin, 'Ayek' yang ada di sebelahnya adalah 'Ayek' yang populer di media sosial. "Jadi kamarmu sebelahan sama toilet?” ledek Ayek. Sepasang alis Mei Hwa terangkat. “Kamu sering mengintip aku mandi ya?” Ayek terpana, bukan karena pertanyaan Mei Hwa yang cukup cerdik membalas ledekannya, tapi karena gadis itu mengangkat sepasang alisnya. Baginya itu menarik. Entah kenapa, ia tak tahu. Namun untuk menetralisir gejolak, ia berkelakar. “Hah? Kamu pernah memergokiku? Aduh!" Mei Hwa tertawa lebar. Giginya tampak kecil-kecil seperti biji timun. “Tahu begitu harusnya aku siram kamu, biar kapok, sayang, tarif air PDAM mahal.” “Aku harus berterima kasih sama pemerintah daerah kalau begitu. Semoga tarifnya tetap mahal. Aamiin!” "Biar aku enggak nyiram kamu?" "Iya." "Nggak lucu!" Ayek melongo, malu, kelakarnya garing. Ekspresi itu itu membuat Mei Hwa terpingkal-pingkal. Entah kenapa ia tiba-tiba merasa nyaman, tak segelisah tadi. "Lucunya di mana?" Ayek protes. "Kamu yang lucu." Ayek menunjuk hidungnya sendiri. "Aku lucu?" Mei Hwa mengerjap. "Seperti badut?" Mei Hwa menggeleng. "Lalu?" Mei Hwa menatap wajah Ayek lekat-lekat. Itu cukup membuat lelaki di hadapannya salah tingkah. "Seperti gitaris sebuah band rock," jawab Mei Hwa. "Maksudnya?" Alih-alih menjawab, Mei Hwa mendongak ke langit. Hujan semakin deras. Airnya menghujam atap teras rumah yang berbahan seng, menimbulkan bunyi berisik. Sementara hembus angin kencang cukup membuat suhu udara terasa sejuk. Situasi ini sekarang menguntungkannya. Ia punya alasan kuat untuk pulang lebih lama. Ia ingin mengorek lebih dalam identitas Ayek, untuk memastikan dugaannya benar. "Kamu suka main gitar?" selidik Mei Hwa. Mungkin itu pertanyaan konyol, karena jelas yang ditanya memiliki gitar. Ia tak peduli, yang penting ia mendapatkan kejelasan. Ayek mengangguk. "Iya." "Sepertinya aku tidak asing dengan wajahmu." Mei Hwa melirik logo band pada gitar Ayek. "Apa kamu salah satu personel ASK Band?" Reflek Ayek menunjuk logo band di gitarnya. "Apa karena stiker ini yang membuatmu bertanya begitu?" Lagi-lagi Mei Hwa mengernyitkan dahi. Lagi-lagi pula darah Ayek berdesir. "Kamu suka ya, merespon pertanyaan dengan pertanyaan. Jawab saja kenapa?" Ayek tersenyum simpul, merasa senang gadis di sebelahnya tahu tentang dirinya. "Iya, aku pemain gitar ASK Band." "Sudah kuduga!" Tanpa mereka sadari, sejak tadi Zaenab berdiri dari balik kaca. Perempuan berusia hampir setengah abad itu menunda untuk menemui Mei Hwa demi melihat keakraban dua anak muda itu. Mau tak mau, ia mendengarkan obrolan mereka. "Ummi kok lama ya?" keluh Ayek. Mei Hwa mengangguk. Ia tak peduli seberapa lama lagi harus menunggu. Ia masih betah berada di sini. Merasa disebut, Zaenab segera keluar. Tangan kanannya menjinjing kantung kresek. Tangan kirinya memegang payung. "Aduh, maaf ya kalau Mei Hwa harus menunggu lama." Melihat kedatangan Zaenab, Mei Hwa segera berdiri. "Ndak apa-apa, Ummi." Ummi menyerahkan kantung kresek di tangan kanannya kepada Mei Hwa. "Ini ada sedikit Roti Maryam. Semoga suka." Mei Hwa canggung menerima pemberian Zaenab, meskipun merasa tidak enak juga untuk menolak. "Terima kasih, Ummi." "Pakailah payung ini!" Zaenab memekarkan payung, lantas menyerahkannya pada Mei Hwa. Sebenarnya Mei Hwa berharap, Zaenab berbasa-basi, memintanya untuk tetap berada di sni, namun karena nyonya rumah menyiapkan payung, terpaksa ia harus peka. "Kalau begitu Mei pamit, Ummi." "Iya, Mei Hwa. Sering-seringlah main ke sini. Ibu kesepian, apalagi Ayek jarang di rumah." Mei Hwa mengangguk. Sebelum membalik badan, ia sempat melirik kepada Ayek.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD