#09 - Sang Penyelamat

1248 Words
Saat ini Beno sedang berdiri di atas panggung alun-alun sambil menatap tali yang telah tergantung di depan wajahnya. Tali itu berukuran sebesar ibu jari, berwarna hitam kecokelatan dan tampak kuat. Tali itu tergantung pada sepasang kayu dengan warna cokelat tua yang berdiri saling berseberangan, berbentuk seperti sebuah gerbang. Tak jauh di depan sana, beribu pasang mata menatap ke arahnya dengan bermacam-macam ekspresi. Sebagian menatap Beno dengan sorot kasihan dan sebagian lagi menatapnya sinis. Juga ada yang menatap dengan sorot mengejek ke arah Beno. Laki-laki dan perempuan, makhluk aneh dan manusia, tua dan muda berkumpul di sana. Tatapan mereka tertuju pada satu titik, yaitu dirinya. Beno tahu benar apa yang mereka pikirkan. Tak lain dan tak bukan, pasti mereka menganggap Beno sebagai seorang pengacau dan mata-mata, sama seperti tuduhan yang dilemparkan si gadis berambut merah padanya. Sebagian lagi mungkin merasa iba padanya karena sebentar lagi harus kehilangan nyawa di tiang gantungan. Dan sebagian lagi mungkin, ada yang mengejek Beno karena tertangkap seperti seorang pecundang. “Wah, melihat respon mereka, memang tidak salah jika aku berpikiran bahwa si gadis berambut merah itu merupakan tokoh penting di tempat ini,” gumam Beno sambil berdecak kagum. Sesaat ia terkagum dengan pengaruh si gadis berambut merah terhadap makhluk-mahluk di tempat ini. Beno menahan napas saat tubuhnya didorong secara paksa mendekat ke arah tali pada tiang gantungan itu. Matanya melihat kesana-kemari untuk mencari celah melarikan diri. Namun seberapa besar pun usahanya saat ini, tetap tak ada celah yang dapat digunakan Beno untuk melarikan diri. Seketika sekelebat bayangan mamanya melintas di otak Beno. Makan malam yang sudah disiapkan mamanya, yang bahkan belum disentuh Beno seujung jari pun. Juga persiapan UN yang selama ini dilakukannya dengan mati-matian, menjadi sia-sia. “Semua ini karena buku terkutuk itu!” rutuk Beno dalam hati. Beno yang merasa tak terima jika usahanya belajar mati-matian demi UN menjadi sia-sia, lantas berontak. Para penjaga yang memegang tangan Beno terlempar beberapa langkah ke belakang. Tali yang terikat di kedua tangan cowok itu terbuka. Beno sedikit terkejut dengan kekuatan yang keluar dari tubuhnya secara tiba-tiba. “Lagi? Dari mana datangnya kekuatan ini?” gumam Beno sedikit bingung dengan kekuatan aneh miliknya. *** Beno mengambil kuda-kuda,  bersiap untuk melarikan diri. Namun, dengan secepat kilat sebuah pedang menempel tepat di leher Beno, membuat cowok itu terpaksa membatalkan aksi selanjutnya. Rupanya gadis berambut merah itu lebih sigap mengayunkan pedangnya dibanding dengan langkah Beno. Gadis itu sempat memanfaatkan sedikit kelengahan Beno—yang sebelumnya terheran dengan kekuatan ajaib miliknya—untuk mengambil langkah terlebih dahulu. Beno merasakan sedikit perih di lehernya. Tampaknya pedang mengenai kulit lehernya dan meninggalkan sebuah luka gores di sana. Suasana di alun-alun menjadi tegang. Nyawa Beno saat ini berada di ujung pedang si gadis berambut merah. Gadis itu hanya tinggal menarik pedangnya dari leher Beno dan membuat cowok itu diam selamanya. Sebuah sabetan di sana, mampu melepaskan nyawa Beno dari tubuhnya. Beno benar-benar mati kutu. Cowok itu bahkan tak bisa berpikir. Cowok itu refleks menahan napas hingga sebuah suara penuh wibawa hadir bak penyelamat hidupnya yang berada di ujung pedang si gadis berambut merah. Suara itu seperti mampu menghentikan waktu yang sedang berjalan. Semua kegiatan bagai terhenti. Pasukan yang mengawal Beno menuju tiang gantungan pun menghentikan langkahnya dan menundukkan tubuh penuh hormat pada sosok yang baru muncul itu. Beno mendongakkan wajah, menatap sosok penyelamatnya kali ini. Wajah tampan dan tegas, dipadukan dengan sorot mata yang tajam serta rambut merah menyala, sangat serasi dengan warna mata yang hitam itu hingga menambah kharismanya. Tubuhnya yang tegap dibalut dengan baju bak kesatria pedang dan berpadu dengan jubah merah yang pada bagian pinggirannya bersulam benang emas. Di bagian bahunya terdapat pelindung yang tampak seperti besi yang menutupi bahu tegapnya. Juga sebuah emblem—yang tersemat di baju pada bagian dadanya—yang bersimbolkan huruf “A”. Sekilas Beno melihat ada kemiripan di wajah lelaki itu dengan si gadis berambut merah. “Lepaskan dia!” perintah lelaki itu tegas. Para pasukan yang mengawal Beno langsung melepaskan cengkeramannya, lalu melangkah mundur. Gadis berambut merah yang masih mengarahkan pedangnya ke leher Beno tampak terkejut dan melontarkan protes, “tapi, Van! Dia adalah pengacau. Dan dia juga seorang mata-mata dari Kerajaan Vordeen!”  Sang penyelamat mengalihkan perhatiannya pada si gadis berambut merah, “Tidak. Aku tidak melihat hal yang menguatkan semua tuduhanmu. Dan sepertinya semua ini hanya kesalahpahaman.” Lelaki itu kemudian mendekat ke arah Beno. Si gadis berambut merah hanya bisa menatap kesal sekaligus heran ke arah lelaki yang dipanggilnya dengan sebutan “Van” tadi. Begitu juga dengan para pasukan dan semua orang yang hadir di alun-alun itu, mereka menatap sosok sang penyelamat Beno dengan heran bercampur terkejut. “Aku yakin, bocah ini memiliki hubungan dengan kembalinya Duyuta,” sambung lelaki Sang Penyelamat itu. Gadis berambut merah membelalakkan matanya, “Apa maksudmu? Apa kau berpikir dia adalah Cel Ales?” Gadis itu menatap aneh pada sang lelaki penyelamat. Ia seperti tak percaya pada perkataan sang lelaki berambut merah itu. Gadis itu lalu menatap sinis ke arah Beno, yang langsung membuat bulu kuduk cowok itu meremang seketika. Cel Ales? Siapa lagi itu? Beno menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia benar-benah tak habis pikir dengan semua hal tak masuk akal bin aneh, yang terjadi dalam waktu hanya kurang dari 24 jam. Beno hanya bisa berharap, bahwa semua ini hanya mimpi dan ia tersadar secepatnya. "Tak mungkin bocah pengacau ini seorang Cel Ales!" Gadis berambut merah itu menatap ke arah sang lelaki penyelamat dan Beno secara bergantian. Beno membulatkan matanya. Ia merasa seperti ada yang salah dari ucapan si gadis berambut merah. "Hei! Bocah kamu bilang? Menurutku kita seumuran. Atau bahkan kamu yng lebih muda dariku," celetuk Beno. Ia merasa tak terima dengan ucapan si gadis berambut merah yang menyebutnya "bocah" oleh seseorang yang menurut Beno seumuran dengannya. Terlebih orang itu adalah seorang perempuan. Gadis berambut merah tersenyum miring—seolah mengejek Beno—sambil menaikkan sebelah alisnya. "Terus kalau bukan bocah, kenapa pakaianmu seperti bocah?" tanyanya sambil melirik ke pakaian yang melekat di tubuh Beno. Beno mengerutkan keningnya bingung. Cowok itu lalu melihat ke arah pakaian yang melekat di tubuhnya. Saat ini ia sedang mengenakan celana training dengan terdapat beberapa sobekan di kiri dan kanannya akibat tersangkut duri dan dahan pohon di hutan selama pengejaran semalam. Menurut Beno, tak ada yang aneh di celananya. Pandangannya pun perlahan naik menuju kaus yang sedang ia kenakan. Saat itu ia membelalakkan matanya, terkejut bukan main. Sebuah motif boneka beruang besar bertengger di sana, tersenyum dengan mata hitam yang bulat. "s**l! Kenapa aku salah ambil baju? Dan lagi kenapa baju ini masih ada di lemariku?" rutuk Beno dalam hati. Cowok itu menduga pasti mamanya yang memasukkan kembali baju itu ke dalam lemari. Baju itu merupakan hasil dari kecerobohan Beno saat berbelanja secara online. Waktu itu Beno tidak terlalu memperhatikan motifnya. Ia sudah berniat membuang baju itu, namun mamanya selalu saja mengembalikan ke dalam lemari. "Sayang jika dibuang. Belinya pakai duit," ucap mamanya suatu hari saat Beno protes karena baju itu dikembalikan ke lemari. "Dasar bocah!" ejek si gadis berambut merah sambil tersenyum mengejek pada Beno. Sementara sang lelaki penyelamat tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Beno yang hanya bisa tersenyum kecut menahan malu. Sang lelaki penyelamat berdeham ketika melihat Beno yang tampak mulai kesal dengan ejekan si gadis berambut merah. "Sekarang semuanya bubar. Karena sepertinya semua ini hanya kesalahpahaman, maka aku akan menyelidikinya terlebih dahulu." Lelaki penyelamat itu berbicara dengan penuh kharisma. Orang-orang yang berkumpul di alun-alun segera membubarkan diri setelah mendengar instruksi sang lelaki penyelamat. Begitu pun dengan para pengawal yang berdiri tak jauh dari Beno. Mereka segera melonggarkan penjagaannya sambil tetap mengawasi setiap gerak-gerik Beno secara diam-diam. Sepertinya pengaruh yang dimiliki oleh sang penyelamat jauh lebih besar, jika dibandingkan dengan si gadis berambut merah. "Dan kamu ikut denganku," lanjutnya sambil mengajak Beno pergi dengan isyarat matanya. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD