When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Lia menatap ibunya dengan pupil bergetar, tangan kirinya disentuhkan perlahan ke pipi yang telah mendapat tamparan dari sang ibu. Sorot matanya berkaca-kaca tak percaya. Apa ini? Kenapa begini? Apa sebenarnya aku salah hidup di dunia ini? renung Lia dengan isi kepala nyaris kosong. Hatinya berdarah, tapi semua itu berusaha ditelannya hingga ke perut, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Lia bungkam seperti orang bisu. Perempuan itu merasa seperti menjadi badut di pengadilan sirkus, seolah ada mulut-mulut tak kasat mata menertawainya dari segala arah. Memalukan. Menyedihkan. Terkucil. Rendah. Dan seperti tak punya harga diri. Sekujur tubuhnya seketika memerah karena rasa malu luar biasa. Seumur hidup, setelah dibentak keras oleh sang ayah beberapa saat lalu dan dituduh sebagai wanita