CHAPTER 1. PENAGIH GULA

2939 Words
“Asta! Asta! Kapan kamu memberikanku permen lagi?” Anastasius berjalan menapaki jalanan kota Kalla. Sebuah kota sederhana yang penghuninya tidaklah terlalu banyak, Hanya terdapat sekitar seribu kepala keluarga yang menghuni kota kecil ini. Jumlah yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan kota kerajaan lain. Di sekeliling Anastasius terdapat banyak gerombolan anak kecil yang berlarian dan mengitarinya untuk menagih permen atau camilan manis yang terkadang ia bawa untuk dibagikan kepada mereka. Awalnya Anastasius hanya iseng membagikkan permen yang tidak bisa ia habiskan, namun pada akhirnya anak – anak ini akan selalu meminta lagi dan lagi setiap harinya. Anastasius hanya tersenyum memperhatikan anak – anak kecil itu mengikutinya bagaikan anak bebek yang mengekori induknya, “Bukankah aku telah memberikan kalian gulali kemarin sore?” “Kata ibuku, gula bisa menambah energi. Asta, bukankah aku harus makan permen setiap hari agar bisa mempunyai energi untuk bermain setiap hari.” Seru Anni, seorang anak perempuan berambut merah yang tidak akan pernah menyerah sebelum kemauannya terpenuhi. Suara alunan alat musik Lyra terdengar menyeruak hingga memenuhi jalan – jalan kota Kalla, disertai dengan suara melodi merdu milik seorang wanita yang begitu indah. Suaranya mampu membuat anak – anak yang berisik itu sedikit terdiam dan mencari ke arah sumber suara. Lantunan melodi tersebut berasal dari Alun – alun kota yang berjarak tak jauh dari tempat mereka berdiri. Ditengah alun – alun, seorang wanita bersurai perak menggerakkan jari jemari lentiknya diatas Lyra dengan lincah, setiap sore ia akan selalu menghibur warga kota Kalla di alun – alun. Membiarkan kepingan – kepingan perak atau emas dilemparkan ke sebuah kotak kayu dihadapannya, dalam satu kali bermain. Ia mampu mengumpulkan seratus keping koin emas, jumlah yang sangat banyak untuk seorang musisi jalanan. Anastasius memperhatikan setiap gerakan anggun yang di torehkan wanita itu diatas Lyra miliknya, suara indah tersebut mampu membuat Anastasius tersenyum hangat. Ia kemudian menundukkan kepalanya ke arah para anak kecil yang masih senantiasa berdiri mengililinginya. “Lihatlah, Hari ini Nora mendapatkan banyak koin emas. Mungkin kalian bisa dapat permen hari ini, bila kalian meminta kepadanya.” Semua anak kecil itu langsung bergidik dan menggelengkan kepalanya dengan cepat, “Aku tidak mau meminta ke Cenora.” “Aku juga tidak.” Anni kali ini menyerah dengan hal yang ia inginkan, kemudian berlari meninggalkan Anastasius. Gerombolan anak lain pun pergi mengikuti Anni, tidak ada satupun dari mereka yang berniat untuk meminta permen dari Cenora. Anastasius hanya tertawa melihat semua itu. Tak lama setelah itu, Cenora telah menyelesaikan lagunya. Tepukan tangan yang meriah serta riuh suara godaan lelaki terdengar memenuhi alun – alun kota. Cenora hanya mengangguk pelan sebagai tanda bahwa ia sudah menyelesaikan lagunya dan memohon untuk undur diri. Cenora lantas meninggalkan alun – alun kota, dengan wajah rupawannya yang sekaku es. Tak ada senyum ataupun tawa karena mendapatkan banyak koin emas dari para p****************g ataupun wanita yang terkesima oleh kecantikannya. Cenora melangkahkan kakinya menuju ke arah Anastasius, ia menatap anak lelaki itu dengan dingin. “Bocah, Bukankah aku menyuruhmu untuk membersihkan rumah. Kenapa kau malah bermain dengan segerombolan anak bebek itu.” Ujar Cenora seraya menatap ke arah para bocah yang sedang bermain kejar – kejaran di jalanan. Membuat pejalan kaki lain merasa terganggu. Anastasius tersenyum lebar seraya memperlihatkan sebuah kanvas dengan lukisan pemandangan kota Kalla di sore hari. Biasan cahaya mentari yang berwarna kekuningan terasa begitu nyata dalam torehan tinta di atas kanvas tersebut. Lukisan miliknya bagaikan sebuah potret nyata dari objek asli. “Aku sudah membersihkan seluruh rumah sebelum keluar, dan ingin membeli bahan pangan untuk dimasak nanti malam. Aku juga ingin menjual lukisan ku ini.” Ujar Anastasius antusias. Cenora, “Tidakkah uang jajanmu cukup? Kenapa harus menjual lukisan lagi.” Anastasius, “Tentu saja cukup, tapi aku ingin menghasilkan lebih banyak uang untukmu. Dan anak – anak terus meminta permen setiap hari.” Cenora berjalan pergi dari alun – alun kota, diikuti oleh Anastasius, “Uangku sudah banyak. Dan berapa kali sudah kubilang, jangan memberi makan anak – anak bebek itu.” “Kau bilang, uang ini lebih sedikit dibandingkan penghasilan dari pekerjaanmu sebelumnya. Dan anak – anak itu bukan bebek.” Cenora hanya mendengus pelan, “Tentu saja sangat sedikit.” Langkah kaki Cenora semakin cepat tatkala langit sudah mulai gelap, Anastasius sedikit berlari kecil untuk menyamakan kecepatan langkah kaki miliknya dengan Cenora. Bahkan dulunya, anak lelaki itu sangat kesulitan untuk menyamai langkah kaki mereka, karena Cenora memiliki tubuh yang lebih tinggi dari dirinya. Namun, sekarang tinggi mereka sudah hampir sama, membuat Anastasius semakin bisa mengejar Cenora. “Nora, apa makanan yang ingin kau makan malam ini?” Tanya Anastasius mengubah topik pembicaraan, karena ia tahu, Cenora tidak suka pekerjaan lamanya kembali diungkit lebih jauh. “Malam ini tak perlu memasak. Kita makan diluar.” Anastasius, “Oh, biasanya kau tidak suka makan diluar.” “Aku sudah lapar.” Baru hendak Anastasius kembali menjawab Cenora, ia melihat ke arah Anni yang menatapnya dengan penuh harap diberikan permen. Diikuti dengan anak – anak lainnya yang bersembunyi dibalik gerobak dagangan. Mereka tidak berani mendekati Anastasius, selama ada Cenora disampingnya. Wanita itu memang selalu memancarkan aura dingin yang membuat anak – anak akan takut berada di dekatnya. Kling. Sebuah koin emas dilempar secara mendadak ke arah Anastasius yang secara reflek langsung menangkap koin tersebut menggunakan tangan kirinya yang tidak memegang kanvas. Lalu ia menatap punggung kecil milik Cenora yang sudah berjalan agak jauh darinya. “Aku menunggu di Restoran Tuan Berillo. 10 menit tidak datang, aku pergi.” Ujar Cenora agak meninggikan suaranya agar Anastasius bisa mendengar. Anastasius tersenyum lebar, “Baiklah, Tunggu aku!” Gerombolan bocah pun mulai berlarian ke arah Anastasius kembali, mengelilinginya bagaikan semut yang ingin mengambil makanan. “Lihatlah, Nora memberikanku koin. Kita bisa membeli permen.” Anastasius memperlihatkan sekeping emas di tangannya kepada anak – anak, yang disambut dengan seru takjub dari mereka. Koin emas bukanlah hal yang sering dilihat oleh anak – anak ini, terutama mereka kebanyakan berasal dari keluarga yang kekurangan. “Asta, aku mau banyak!” “Aku juga! Aku juga!” Anastasius mengusak kepala mereka satu persatu, ia tersenyum hangat, “Baiklah, satu orang mendapat lima.” Sorak sorai anak kecil lantas memenuhi jalanan Kota Kalla, suatu pemandangan yang sangat biasa di kota kecil tersebut. ••• Kepulan asap hangat bergumul diatas cawan teh yang di pegang oleh Cenora. Ia meniup – niup kecil uap panas tersebut agar menjadi lebih dingin. Sesapan pertama mampu membawa rasa manis ke lidahnya yang kering, aroma chamomile menyerbak hingga ke hidung Cenora. Wanita itu memejamkan mata untuk menikmati setiap rasa yang dituangkan oleh teh tersebut. Teng. Teng. Suara jam tua yang berada di hadapannya. Membuat ia membuka mata, memperhatikan jarum pendek jam menunjuk ke angka 6, “Bocah itu telat lima menit.” Baru ia mengatakan hal tersebut, suara dobrakan pintu terdengar dari pintu utama restoran. Menampakan sosok Anastasius yang terengah – engah di ambang pintu seraya memegang kedua lututnya. Kulit putih milik anak lelaki itu sedikit memerah tatkala berlari untuk mengejar waktu, takut bila Cenora akan meninggalkannya karena ia terlambat. “Maaf aku terlambat.” Ujar Anastasius seraya berjalan ke arah Cenora. Wanita itu hanya menatap Anastasius sekilas lalu kembali menyesap Teh Chamomile miliknya. “Kau selalu terlambat.” Anastasius menarik kursi dihadapan Cenora, “Tapi kau menungguku.” “Karena aku lapar.” Anastasius hanya tersenyum kecil, “Baiklah, baiklah. Apa yang ingin kamu pesan?” “Apapun tak masalah.” Anastasius membuka buku menu yang ada di hadapan mereka, menyibak lembaran demi lembaran buku berisi gambar makanan tersebut. “Bagaimana dengan mie?” Tanya Anastasius. “Bosan.” Lembaran berikutnya kembali di sibak, “Daging panggang?” “Terlalu berminyak.” “Seafood.” “Bentuknya mengerikan.” “salad?” “Tidak.” “kenapa?” Cenora meletakkan cangkirnya ke atas meja, “Kau tahu aku tidak suka sayuran.” Anastasius menghela nafas, anak itu menatap Cenora dalam diam. Ingin protes namun juga tidak bisa. “Lalu kamu mau pesan apa?” Cenora mengetuk - ngetukkan jari telunjuknya ke atas meja karena bosan, “Apapun tidak masalah.” Mendengar hal itu, Anastasius hanya mampu tersenyum. Ia berdiri untuk meninggalkan meja dan menuju ke arah kasir untuk memesan makanan. Obsidian emas milik Cenora mengikuti gerakan Anastasius. Ia melihat anak lelaki itu mengatakan serangkaian menu kepada Tuan Berillo, lalu menyerahkan beberapa keping koin perak kepada pemilik restoran tersebut. Ketika Anastasius kembali duduk di meja, Cenora bertanya, “Jadi kau memesan apa?” “Sup ayam untukmu, dan mie daging untukku.” Cenora hendak membuka mulutnya untuk berbicara, namun Anastasius langsung menyelanya. “Kamu jarang memakan sup ayam jadi kamu tidak akan bosan, makanan itu tidak berminyak, bentuknya juga tidak aneh, dan aku meminta Tuan Berillo untuk tidak menambahkan sayuran di makananmu. Apa masih ada masalah?” Cenora tertawa kecil, “Tidak, sudah cukup.” Anastasius tidak pernah mengerti tentang sifat Cenora yang sangat sering memilih makanan, namun juga seringkali tidak ingin memesan sendiri makanan yang ingin dia makan. Membuat Anastasius terkadang hampir kehilangan kesabaran, bila tidak mengingat bahwa wanita itu adalah orang yang telah memungutnya dari jalanan. Tanpa ingin memulai perdebatan lainnya, Anastasius mengambil kantung koin yang terikat di pinggangnya, lalu menyerahkannya kepada Cenora. Wanita itu hanya mengangkat kedua alisnya meminta penjelasan, tidak mengerti dengan maksud dari Anastasius. “Aku menghabiskan 1 koin emasmu untuk membeli permen dan makan malam untuk anak – anak. Tapi, aku berhasil menjual lukisanku kepada seorang warga asing yang berkunjung ke kota Kalla. Ia membayarku lima puluh koin perak, aku berikan padamu.” Cenora mendecih, menatap ke arah Anastasius tak suka, “Lima puluh koin perak?” Melihat pancaran mata ketidak sukaan dari manik emas Cenora membuat Anastasius khawatir bahwa wanita itu tidak senang dengan jumlah sedikit itu. Karena, satu koin emas sama halnya dengan seratus koin perak. Dan Anastasius hanya bisa mengumpulkan setengah dari jumlah tersebut. “Aku tahu ini kurang, maafkan aku.” Anastasius menarik kantung uangnya kembali dan menunduk lesu. Suara gebrakan halus terdengar dari hadapan Anastasius, membuatnya langsung menatap lurus ke arah Cenora, “Tentu saja sedikit! Lukisanmu itu harusnya bisa dihargai seratus keping emas. Orang asing itu pasti bodoh sekali sampai tidak mengetahui seni! Katakan Asta, bagaimana ciri – cirinya. Akan ku patahkan kaki orang itu sampai mau membayar lebih.” Anastasius mengerjab – ngerjabkan kedua matanya, tidak mengerti dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Cenora. Apakah Cenora memujinya? Bibir Anastasius tak kuasa menahan kurva lebar yang terbentuk di bibirnya, menampakkan sederetan gigi putih. “Ah, bukankah itu terlalu berlebihan. Mungkin saja dia berfikir aku hanya anak – anak, sehingga masih kurang kompeten.” “Anastasius, apa aku pernah mendidikmu menjadi orang yang menatap dirinya rendah?” Senyuman di wajah Anastasius perlahan menghilang, tergantikkan dengan perasaan gugup tatkala Cenora memanggil dengan nama lengkapnya. “Tidak. Kamu tidak pernah.” Cenora kemudian menyenderkan tubuhnya ke kursi kayu, dan menyesap tehnya kembali. “Jadi katakan, kepada siapa kau menjualnya?” “Tidak. Tidak. Kau tidak perlu mematahkan kaki orang itu, lain kali aku janji untuk menawar harga lebih tinggi.” Ujar Anastasius, takut bahwa Cenora benar – benar akan melukai orang lain. Cenora mendengus, “Terserah kamu saja.” Beberapa saat kemudian, Tuan Berillo datang membawakan makanan pesanan mereka. Disertai dengan beberapa kudapan kecil yang tidak mereka pesan. Anastasius menatap dengan heran, “Tuan Berillo, saya tidak memesan kudapan – kudapan ini.” Tuan Berillo lantas menatap ke arah Cenora dengan pandangan yang tak dapat dijelaskan, “Ini untuk Nona Cenora. Penampilannya hari ini bagus sekali, kamu benar – benar hebat.” Cenora mengambil sup ayam miliknya, mengaduk kaldu sup tersebut, tanpa memperdulikkan pria tua yang masih berdiri di sampingnya. “Terima kasih Tuan Berillo.” Anastasius menggantikan Cenora berbicara, karena semua orang sudah tahu bahwa wanita cantik itu sangat jarang berbicara kepada orang lain. Atau lebih tepatnya mungkin tidak perduli. Namun, Tuan Berillo tidak tersinggung dengan tindakan Cenora. Ia sudah sangat mengenal Cenora sejak dua tahun, sehingga walaupun wanita itu tidak berbicara. Ia tahu betul, bahwa Cenora juga tidak membencinya, sehingga selalu datang ke restoran miliknya. “Kalau begitu, silahkan dinikmati.” Tuan Berillo tersenyum kemudian kembali bekerja. Anastasius memperhatikan Cenora yang hanya terus memakan makanannya tanpa memperdulikan keadaan sekitar, akhirnya Anak lelaki itu juga ikut menyantap makanan miliknya sendiri. Dentingan garpu dan sendok memenuhi keheningan diantara mereka, tidak ada yang berniat untuk membuka suara terlebih dahulu. Semua terasa begitu tenang, bahkan detik jam dapat terdengar dengan jelas. Hingga suara gebrakan pintu dari pintu utama restoran terdengar. Membuat mereka berdua secara reflek menoleh secara bersamaan. Terlihat sosok wanita paruh baya yang bernafas putus - putus di hadapan pintu, seakan habis berlarian dari tempat yang jauh. Anastasius sangat mengenal sosok wanita tersebut, itu adalah ibu dari Anni. Anak perempuan yang selalu mengikutinya kemanapun untuk meminta permen. Melihat ada yang tidak beres, Anastasius segera bangkit dari kursi dan menghampiri Nyonya Beryl, “Nyonya Beryl, apakah anda dalam masalah?” Nyonya Beryl menatap Anastasius, ia mengatur nafasnya terlebih dahulu sebelum bersuara, “Anni.. Apakah kamu melihat Anni?” Anastasius, “Anni dan anak – anak lain ada di area jajanan kota sejak aku meninggalkan mereka satu jam yang lalu, aku memberikan mereka uang untuk membeli makanan kecil sebelum pulang. Mungkin mereka masih makan, hingga lupa waktu.” “Tidak. Tidak. Anni tidak ada disana, begitupun dengan anak – anak lain.” “Carilah ditempat lain. Mungkin mereka sedang bermain.” Kali ini Cenora bersuara tanpa menatap ke arah Nyonya Beryl. Nyonya Beryl jatuh terduduk diatas lantai, “Aku sudah mencari kemanapun, begitu juga dengan orang tua yang lain. Namun, kami tidak bisa menemukan mereka. Nona Cenora, anda tahu betul kota Kalla begitu kecil, tidak mungkin tidak ada penduduk yang melihat mereka.” Kali ini Cenora menatap Nyonya Beryl yang terlihat menyedihkan, rambutnya telah berantakan akibat berlarian selama satu jam. “Beritahu aku sesuatu, Nyonya Beryl. Apakah Anni tidak bahagia selama ini?” Anastasius menatap Cenora dengan kaget, tak menyangka bahwa wanita itu akan mempertanyakan hal aneh seperti tadi. Ia lantas berjalan ke arah Cenora, “Nora, buk—” Belum sempat Anastasius menyelesaikan kalimatnya, Cenora sudah bangkit dari kursi. Ia melangkah kehadapan Nyonya Beryl dan berjongkok dihadapan wanita tua tersebut. Obsidian Emas terkunci dengan manik gelap milik Nyonya Beryl, bersinar bagaikan bintang, Nyonya Beryl bagaikan tenggelam kedalam lautan emas milik Cenora. Sekali lagi Cenora bertanya, kali ini dengan nada penuh penekanan, “Katakanlah. Apakah Anni bahagia?” Bagai terbius oleh sesuatu Nyonya Beryl menjawab pertanyaan Cenora tanpa amarah atau ketidaknyamanan, Suara isakan tangis langsung keluar dari bibir Nyonya Beryl, “Aku.. Aku tidak tahu, Anni selalu menginginkan sosok ayah. Namun aku tidak bisa memberikan hal itu. Mungkin putriku tidak bahagia dan meninggalkanku.” Cenora menepuk pundah wanita tua tersebut, “Tenanglah, Anni akan kembali.” Cenora menatap Anastasius yang masih tidak mengerti dengan pemandangan dihadapannya, “Asta, kau membawa pedangmu?” Anastasius terkejut, namun masih menjawab, “Apa? Iya aku membawanya.” Ia menunjukkan sebuah pedang yang tersarung di pinggang kanan miliknya. Sebuah pedang logam biasa yang dihadiahi oleh seorang ahli besi tua yang ditolong oleh Anastasius dua tahun yang lalu. “Kalau begitu kau boleh ikut denganku.” Wanita bersurai perak itu berjalan terlebih dahulu, dengan langkah yang lebih cepat dari biasanya hingga Anastasius harus berlari untuk mengejar Cenora. Ketika dekat, Anastasius menarik tangan kanan Cenora. Bunyi gemerincing terdengar dari gelang emas yang ia pakai sehabis pertunjukkan saling beradu. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu bertanya seperti itu? Kita mau kemana?” Cenora menatap Anastasius, “Asta, kamu tahu tentang ular pemimpi?” Anastasius berfikir sejenak, “Aku ingat kamu pernah memberitahuku, ular itu adalah siluman iblis yang menggunakan ilusi untuk menjerat mangsanya. Lantas apa hubungannya?” “Kamu tahu mangsa seperti apa yang disukai ular pemimpi?” Kali ini Asta menggeleng, “Tidak. Apa yang dia sukai?” Emas dan perak bertemu, Cenora hanya menatap Anastasius dalam diam. Membiarkan bocah itu mengambil konklusi tanpa harus diberitahu, baru beberapa saat. Anastasius langsung membulatkan matanya tak percaya dengan kesimpulan yang diambil oleh otaknya tatkala menyatukan semua hal yang sedang terjadi di sekitarnya. “Mereka suka anak – anak.” Lirih Anastasius. “Anak – anak yang memiliki ketidakbahagiaan dalam hidup. Ular Pemimpi akan menjerat mereka dengan ilusi, menawarkan kebahagiaan didepan mata mereka. Lalu membawa anak – anak itu ke sarangnya.” Ujar Cenora. Sekarang semuanya menjadi lebih masuk akal untuk Anastasius, perihal Cenora yang bertanya kepada Nyonya Beryl tentang kebahagiaan Anni. Tentang hilangnya anak – anak yang menghilang. Seperti yang sudah diketahui, Kota Kalla merupakan kota kecil yang masih dihuni oleh keluarga kalangan bawah serta gelandangan. Banyak ketidakbahagiaan di kota ini, dan ilusi siluman tersebut bagaikan Oasis ditengah gurun untuk anak – anak itu. Perhiasan, makanan, atau bahkan keluarga yang tidak bisa mereka miliki akan hadir dalam ilusi. Cenora sudah merasakan aura siluman sejak ia selesai tampil di alun – alun, aura tersebut begitu kuat dan pekat. Namun keadaan kota yang tengah ramai membuat Cenora akan kesulitan untuk menangkap siluman itu, meskipun berhasil menangkapnya. Bukan tidak mungkin akan banyak warga yang menjadi korban bila Siluman mengamuk di tengah kota. Karena itulah, ia sebisa mungkin mengulur waktu untuk tetap berada di luar agar bisa mendeteksi aura siluman tersebut. Mencari waktu yang tepat untuk menangkapnya, akan tetapi nyatanya Cenora kalah cepat. Ia baru merasakan aura siluman menghilang ketika Nyonya Beryl datang. Pertanda bahwa siluman itu berhasil melarikan diri. “Nora, Bagaimana bila kita terlambat?” “Mereka mati. Jika kau tidak ingin mereka mati, maka mulai berlarilah dan jangan banyak bertanya.” Anastasius hanya mengangguk tanda mengerti dan kembali mengikuti pergerakan Cenora. Di kota, seperti yang dikatakan oleh Nyonya Beryl. Semua orang tua tengah turun ke jalan untuk mencari anak – anak mereka, tapi tak satupun ada anak kecil yang terlihat. Mereka bagaikan menghilang begitu saja. **** To Be Continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD