My Name is Pocong

1302 Words
Sebuah lampu senter memancar acak dari sosok jangkung berjaket hitam, nampaknya dia tak hirau dengan angin malam yang meniup perlahan namun menusuk. Aroma rokok kretek mengikuti langkah laki-laki berkaca mata tebal yang sudah berkepala enam itu. Dia hanya menyorotkan senternya ke kelas di lantai atas dan sesekali ke tembok-tembok pembatas sekolah, setelah itu dia lalu berlalu pergi. Sesosok makhluk berwarna pink bersembunyi di dalam kelas VII E, ruangan ini lampunya sudah genap seminggu mati. Entah mengapa belum juga diganti oleh pihak sekolah.  Hantu Bungkus itu menempelkan tubuhnya merapat ke tembok supaya sedikit tersamarkan  dengan suasana kelas yang gulita. Makhluk itu memperhatikan sekitar sambil menunggu dengan rasa sabar yang kian menipis, dia menggoyang-goyangkan bagian belakang tubuhnya ke tembok untuk menghilangkan gatal. Nyamuk-nyamuk jahil telah berhasil menancapkan belalainya hingga menembus kain kafan berwarna pink-nya. “Mengapa tengah malam lama banget ya? Padahal kayaknya azan Isya udah lima jam lalu,” gumamnya. Terdengar tertawa cekikikan samar dari kelas yang ada di lantai dua, sudah bisa dipastikan itu adalah suaranya Anya dan Unyu, si Tuyul Kembar. Akhirnya, suara dentang tengah malam terdengar keras dengan merdu. Makhluk itu mengulum senyumnya, walaupun dia yakin apa yang dilakukannya itu tidak akan terlihat ramah apalagi manis jika melekat di wajahnya. Suara tengah malam itu hanyalah makhluk astral yang bisa mendengarnya, kaum manusia tidak. Itu menandakan bahwa waktu sudah aman untuk berjalan-jalan, tanpa ada rasa khawatir terlihat oleh manusia, kecuali memang sedang naas. Makhluk itu melompat perlahan keluar kelas dengan berhati-hati sekali karena lantainya masih basah karena diterpa air hujan sore tadi bakda Isya, jika lengah bisa saja dia tergelincir dan jatuh. Angin malam menerpa menusuk sisa-sisa daging di balik kain kafannya, membuatnya bergidik beberapa kali. Dia duduk di samping kelas yang bersebalahan dengan bangunan koperasi sekolah itu. Di sana ada bangku dengan keramik berwarna abu-abu sebagai alas duduknya. Biasanya bangku itu digunakan berkumpul siswa jika waktu istirahat, baik pagi hari ataupun sore. Sekolah ini memang tidak pernah sepi sejak pagi sampai jelang Magrib. Pagi hari ada anak sekolah menengah pertama  yang belajar, bakda zuhur berganti giliran dengan anak SMA Terlihat tulisan besar di tembok menggunakan marker besar berwarna hitam, AA tertera di sana dengan huruf besar. Di bagian dibawahnya tertulis nama Aldi dan Ayu, sepertinya itu adalah sebuah ekspresi cinta dua manusia yang sedang jatuh cinta.   Manusia saat saling jatuh cinta suka lebay memang, batin Pocong sambil menggelengkan kepalanya. Dua makhluk kecil berlari-lari menghampirinya sambil cekikikan, mereka menggunakan celana pendek yang lebih mirip celana dalam balita. “Om ....” sapa salah satu dari mereka,  sosok yang disapa menoleh dengan tatapan tidak peduli. “Apa sih, Nyu?” jawab sosok berkafan itu. “Om Pocong salah. Saya Anya, abangnya Unyu. Tandanya adalah saya celananya warna putih, dia warnanya cokelat.”  “Bodo amat mau warna apa juga celana lu pada. Ada apa gangguin gue?” “Nyu, lu yang ngomong sama Om Pocong.” Anya menyentuh adik kembarnya menggunakan siku. “Enggak, ah. Abang aja.” Unyu menggelengkan kepalanya sebagai pelengkap kalimat. “Et, dah.” Anya tersungut. "Cepetan, mau ngomong apa?” ujar Pocong Pink dengan suara yang mulai nge-gas. “Anu, Om.” Anya tergagap. “Kalau lama gue tinggal ya ‘ni.” Pocong mulai mengancam karena tak sabar. “Begini, Om. Kemarin malam Om Omes cerita, katanya Om Pocong punya jam tangan ya?” ujar Anya akhirnya. “Ya Ampun, si Omes bocor banget dah, segala yang kayak  begitu diceritain ke elu pada.” “Iya enggak, Om?” Unyu menarik-narik kain kafan Pocong karena penasaran dengan jawabannya. “Jangan tarik-tarik seragam gue, Tuyul,” kata Pocong dengan nada tinggi. Unyu menunduk takut. “Maaf, Om,” ujar Unyu ketakutan. "Habisnya Om lama jawabnya." “Sebelum gue jawab pertanyaan  kalian, gue mau nanya dulu. Kalau emang iya gue punya jam tangan, kalian mau apa?” “Ya enggak apa-apa sih, Om. Kita penasaran aja. Aneh ‘kan jika Om Pocong punya jam tangan, buat apa coba? Tangannya aja ‘kan di dalam kain kafan, mana kelihatan.” Anya menjelaskan dengan wajah polos. “Oh jadi begitu? Kalian nanyain gue punya jam tangan atau enggak cuma untuk diledekin?” “Ya enggak juga sih, Om.” “Mendingan kalian cabut dari sini deh, ngancurin mood gue aja malam ini.” “Maaf, Om Pocong.” “Udah cabut sono! Kalau nggak gue gebok lu.” Pocong berdiri dari duduknya bersiap menggoyangkan pantatnya untuk memukul kedua makhluk botak yang ada dihadapannya. Anya dan Unyu segera berlari tergopoh meninggalkan pojok kelas itu. Dengan tersungut Pocong Pink memandang kedua makhluk kecil itu yang terbirit-b***t. Walaupun badan mereka kecil sebenernya umurnya itu jauh sekali di atas Hantu Bungkus itu. Dia bisa saja sebenarnya mengejar mereka, hanya dengan mengedipkan mata tubuhnya bisa berpindah ke tempat yang diinginkannya. “Pergilah kalian jauh-jauh, malam ini gue enggak mau diganggu lagi,” gumamnya. Pocong menyandarkan tubuhnya ke tembok bercat hijau tua itu. Di sini adalah tempat favoritnya saat menyendiri, letaknya di pojok antara ruang kelas VII E dan bangunan koperasi sekolah. Di belakang bangunan tempat siswa membeli ATK itu ada sebuah kolam ikan, yang difungsikan sebagai wadah air dari WC guru dan siswa. Sengaja tidak ditutup kolam itu, karena ditanami ikan, banyak lele sebesar lengan tangan orang dewasa di sana.  Yang menyenangkan buat Pocong dari tempat ini adalah bau pesingnya yang membuatnya hobi berlama-lama. Memang sedikit aneh untuk manusia jika menyukai bau pesing, tetapi untuk makhluk astral sepertinya merupakan sebuah kenikmatan tiada tara. Hantu Bungkus itu menengadahkan wajahnya ke langit, nampak bulan purnama bersinar dengan benderang tapi belum sempurna di atas sana. Mungkin besok baru purnamanya baru penuh. Walaupun demikian tidak kurang keindahan malam ini karena bintang-bintang tak mau kalah  memamerkan keindahannya. Sebuah bayangan seseorang melintas di benak Pocong Pink. Sebuah senyum manis tergambar dengan sempurna yang dilengkapi sebuah mata sipit. “Wo ai ni, Kak,” ujar perempuan berambut lurus sebahu itu. “Wo ye ai ni, Mey,” jawabnya yang lalu disambut belaian tangan perempuan berwajah oriental itu ke pipi kirinya. Bayang lalu itu berusaha diusir dari benaknya, sangat menyakitkan sekali mengingat semua itu, karena tak ada lagi yang tersisa di memorinya setelah itu. Yang dia tahu adalah beberapa jam selanjutnya dia melihatnya tubuhnya dihanyutkan di sungai yang sedang deras, sedangkan dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi, hanya memandangi tubuhnya yang sudah jadi mayat dari jauh. Pocong memukul-mukulkan kepalanya ke tembok, dia tidak mau mengingat lagi bayangan itu, sangat menyakitkan sekali. Mayatnya sampai sekarang tidak pernah diketahui oleh keluarganya. Mayatnya pun tidak dibungkus dengan kain yang layak saat dikuburkan oleh pengemis yang menemukannya, hanya sebuah sprei berwarna pink polkadot . Benda itu  membungkus tubuhnya yang hampir membusuk karena terlalu lama di air. Hantu bungkus itu mengedipkan matanya, dalam sekejap tubuhnya pindah ke lapangan tepat di depan kantor Kepala Sekolah, sebuah lapangan yang biasa digunakan siswa latihan ekskul paskibra. Dia duduk di bangku yang kebetulan ada di dekat tiang bendera, entah siapa yang membawanya ke sana tadi siang. Matanya nanar kembali menatap langit, berusaha menenangkan dirinya yang tiba-tiba galau. “I miss you, Mey,” gumamnya. “s**t, mengapa gue masih ingat dia terus setelah dua puluh dua tahun lebih?” Hantu Bungkus itu memukulkan kepalanya ke tiang bendera beberapa kali hingga berbunyi nyaring sekali, suaranya seperti dihantam oleh pemukul dari besi.  “Woy, berisik!” Terdengar teriakan dari kelas pojok di lantai dua. Pocong melihat ke asal suara itu sambil melotot ke arah makhluk yang meneriakinya. “Lu ada masalah, Mes? Sini turun!”  Makhluk berbadan serba hijau yang baru keluar dari kelas pojok itu tiba-tiba mukanya pucat, dia baru menyadari apa yang telah terjadi. “Eh, Maaf Bang Pocong. Gue kira itu kerjaan si Mandra, biasanya 'kan dia yang suka pukul tiang bendera malam-malam begini,” ujarnya. Mahkhluk astral berbadan hijau itu  menyatukan kedua telapak tangannya di depan d**a lalu mengangguk sopan. Senyum di wajahnya tidak bisa menyembunyikan ketakutan yang dirasakannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD