1

1544 Words
Seorang gadis sedang mencoret-coret buku kosong miliknya. Bosan. Itulah yang terjadi padanya. Semua orang sedang bergosip ria termasuk sahabat-sahabat barunya. Dan perbincangan yang tak habis-habis dibicarakan adalah Raffa. Vanna. Ya itulah namanya. Seorang gadis berparas cantik itu menatap dua sahabatnya yang sedang serius berbicara yang lama-lama membuat telinganya budeg karena topiknya tentang Raffa. Sebenarnya yang berada dipikirannya hanyalah seberapa penting dan terkenalnya si Raffa itu sampai setiap sudut sekolah berbicara tentangnya. Vanna baru pindah minggu lalu, dan langsung disuguhi dengan topik Raffa, Raffa dan Raffa. Yang ia ketahui tentang Raffa dari Lena dan Nadya adalah pentolan sekolahnya itu suka berkelahi. Berkelahi adalah makanan hariannya, sebab setiap hari Raffa pasti terlibat dalam perkelahian. Kata Nadya juga Raffa sangat tampan, berbadan atletis, putih, hidung yang mancung seperti perosotan anak tk, tinggi, dan juga seorang bad boy sekolah yang hobinya bolos saat pelajaran. Itulah yang dipikirkan semua murid SMA Pelita. Vanna tidak pernah berurusan dengan anak nakal, karena sekolahnya dulu tidak ada yang seperti ini, walaupun ada tapi tak separah Raffa. Ia pindah karena pekerjaan Papanya yang selalu menuntut keluarganya itu berpindah-pindah kota. Vanna menutup buku yang sudah penuh coretan itu dan mulai mendengarkan apa yang Lena dan Nadya bicarakan. "Katanya kak Raffa berkelahi lagi ya kemaren sama sekolah sebelah?" Kata Lena dan langsung diberi anggukan Nadya. "Dan katanya nih Raffa and the geng tawuran." Vanna menaikan satu alisnya mendengarkan perkataan Nadya. Vanna mulai tertarik tentang Raffa dan akhirnya bersuara, "Kenapa sih dia suka hal aneh kek gitu? Kasihan kan wajah jadi penuh luka hanya karena gituan. Kalo gue jadi dia pasti lebih milih duduk di perpustakaan dan baca buku, terus jadi ketos. Lumayan kan jadi anak baik dari pada jadi hancur kek gitu. Apa lagi yang lo pada bilang dia itu perfect." Vanna mengangguk-ngangguk membetuli perkataannya tadi. Lena dan Nadya saling bertatapan dan menggeleng-gelengkan kepala mereka. "Kak Raffa itu keren loh, hampir semua murid SMA Pelita suka Raffa dkk, kecuali cowok dan..." Lena menggantungkan perkataannya dan menatap geli Vanna. Vanna menaikan satu alisnya "Dan?" Katanya penasaran. "Lo." Tawa Nadya dan Lena meledak. Lucu ya? Itulah yang dipikirkan Vanna. Ia hanya memutar bola matanya malas. Saat tawa Lena dan Nadya mereda, Vanna menatap mereka datar. "Udah puas ketawanya?" "Sorry sorry. Habisnya lo aneh sih. Semua cewek di sekolah itu suka dengan Raffa, termasuk Della, anak culun itu loh," Nadya melirik Della yang berada didepan yang sedang membaca buku dan diikuti Vanna. "Gue aja belum liat orangnya." Vanna mengidikkan bahunya acuh. Nadya dan Lena membulatkan mata mereka ketika mendengarkan perkataan Vanna. "Beneran?" Tanya mereka serempak. Vanna mengangguk dan mulai menyumbat kedua telinganya dengan headset putih yang sudah tersambung ke ponsel miliknya. Ia tidak lagi bergabung dengan obrolan Lena dan Nadya yang masih membahas Raffa. Ia menatap keluar jendela, tepatnya langit. Entah kenapa setiap ia melihat langit perasaannya adem dan nyaman. Para guru sedang rapat, dan hari ini pastinya mereka free class. Dan sekolah lebih sepi karena karena para cowok bolos dan sebagian lagi memilih berada di kantin. °°° Vanna, Lena dan Nadya memasuki kawasan kantin yang lumayan sepi. Hanya ada beberapa siswi yang sedang membaca majalah, novel atau berbicara. Inilah suasana yang sangat Vanna idamkan karena tidak ada keributan. Vanna, Nadya dan Lena duduk di salah satu meja yang kosong. "Hari ini giliran gue yang pesen? Yaudah kalian pesan apa?" Vanna, Lena dan Nadya membuat peraturan hanya satu orang yang memesan makanan dan bergantian. "Gue bakso dan es teh." "Gue soto dan es teh juga," Vanna mengangguk mengerti dan mulai memesan makanan. "Kang. Bakso dua, soto satu dan es teh tiga. Anterin ke meja disana," kang Cecep mengacungkan jempol. Saat Vanna akan kembali ke meja, tidak ada Lena dan Nadya. Ia mengedarkan pandangannyaㅡ kantin sepi, lebih tepatnya semua orang berada di dekat pintu kantin. Dengan penasaran, Vanna mendekat dan mengambil posisi paling depan. Alangkah terkejutnya Vanna mendapati dua cowok dengan wajah yang terlihat mengerikan baginya. Rambut yang sudah seperti landak, baju yang berantakan, dan lebih parahnya lagi wajah mereka penuh luka dan memar. Beberapa cowok datang dan melerai perkelahian mereka. Cowok yang satu telah dibawa ke tempat yang lain. Sedangkan yang satu masih ditenangin teman-temannya. Si teman cowok itu yang Vanna ketahui dari Lena saat mereka berpapasan bernama Dirga itu mengedarkan pandangannya. "Siapa anggota PMR disini?" Tidak ada yang menjawab. Vanna melihat sekelilingnya untuk mencari Lena dan Nadya. Dan, gotcha! Lena dan Nadya paling pojok. Saat Vanna akan beranjak ke tempat di mana Nadya dan Lena berada, suara Dirga menghentikan niatnya. "Heh lo," Tatapan Dirga lurus ke Vanna. Vanna menoleh kiri dan kanan. Semua orang yang berada dibelakangnya telah hilang entah kemana. Lebih tepatnya bergeser, sehingga hanya Vanna sendiri dibagian yang ditunjuk tersebut. Vanna menatap Dirga dan menunjuk dirinya sendiri. "Saya?" "Ya elo. Sini." Dengan langkah berat Vanna mendekat ke tempat Dirga berada. "Ada apa?" Dirga melihat Vanna dari atas sampai bawah. "Lo bisa ngobatin teman gue?" Vanna berfikir sebentar. "Yah, kayaknya bisa." Dulu, Vanna sempat menjadi anggota PMR disekolah lamanya sebelum pindah. Dirga mengangguk acuh. "Lo ikut kita." Kata Dirga lalu berbicara dengan kedua temannya dan pergi. "Cepetan ikut gue." Vanna terserentak lalu mengangguk. Mereka memasuki UKS yang sepi lalu Dirga membiarkan cowok itu duduk ditepi kasur yang tersedia di UKS sekolah. "Kita berdua ada urusan. Jadi lo rawat temen gue dulu." Vanna mengangguk. Melihat gadis didepannya ini sudah mengerti, Dirga dan dan Randi langsung keluar dari UKS. Membiarkan kedua orang tersebut berada didalam. Vanna membuka laci, mengeluarkan kotak P3K untuk mengobati luka sang cowok. Vanna mulai membersihkan darah yang masih menempel di sudut bibirnya. "Akh." Erang cowok itu saat Vanna membersihkan lukanya dengan kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol. "Duh maaf. Sakit ya?" "Udah tau sakit. Masih nanya," Vanna memutar bola matanya malas. "Siapa suruh berantem. Heran deh gue sama cowok. Apa bagusnya sih berkelahi seperti itu? Mau kelihatan keren? Gentle? Atau mau dipuji? Buang-buang tenaga tau gak?" Entah gerangan dari mana, mulut Vanna melontarkan kalimat yang mengalir lancar seperti sungai itu. Raffa menatap cewek dihadapannya yang sedang mengoceh dengan tatapan heran. Baru kali ini ia melihat cewek yang berani seperti itu. Dan tidak ada cewek yang berani marah atau mengoceh kepadanya setelah melihat wajahnya. Pasti yang melihat wajahnya akan tunduk didepannya. "Siapa lo ikut campur?" Raffa yang sedari tadi diam, mengeluarkan suaranya. Vanna menatapnya sekilas lalu fokus mengobati luka Raffa tanpa menjawab. "Kenapa berantem?" "Bukan urusan lo." Vanna dan Raffa sama sama terdiam. Raffa yang tidak suka sunyi seperti ini berdeham "Dia mukul gue cuman karena masalah sepele. Lagian gue gak salah," Vanna menatap mata Raffa lalu fokus lagi ke lukanya "Kan bisa dibicarain baik-baik." "Ada beberapa orang yang tidak bisa mengatasi masalah dengan cara berkata-kata," Raffa menatap wajah Vanna yang sedang sibuk memplester keningnya. Wajah mereka sangat dekat., "Dan dia yang mulai deluan. Masa gue diam? Sebagai cowok yang ga bersalah ya gue gak terima." Vanna sudah habis dengan tugasnya. Ia merapikan kembali obat yang ia keluarkan. "Berantem terus emang ga sakit apa? Sampai luka gitu. Belum lagi tangan sakit saat lo menonjok tu orang." Raffa diam. "Jangan berantem lagi. Oke?" Vanna meletakan obat-obat itu kembali ke laci. "Buat apa lo ngatur gue." Vanna berbalik dan menatap Raffa sebal. "Dibilangin malah ngeyel." "Emang lo siapanya gue sih? Emak bukan, guru bukan." Vanna menatap cowok dihadapannya. Dia sangat tampan. Tapi Vanna tak perlu mengaku bukan? "Oke." Vanna menatap Raffa bingung. "Apanya yang oke?" Raffa menatap Vanna lama membuat cewek itu mengerjap beberapa kali. Entahlah. Vanna merasa ada suatu hal serius yang akan cowok itu katakan sekarang. "Gue gak berantem lagi selama seminggu. Dan kalo kalo gue bisa, lo harus jadi pacar gue." "Hah?" Vanna memekik kaget. Raffa mengangguk-anggukan kepalanya membenarkan perkataanya tadi. "Jadi?" "Demi apa gue harus pacaran sama lo?" Raffa meyeringai. "Kalo gue gak bisa, gue teraktir lo selama sebulan. Gimana?" Glek Vanna menelan salivanya kasar mendengar perkataan Raffa. Jika dijanjikan meneraktir ia tidak bisa menolak. Vanna bisa dibilang dari keluarga yang pas-pasan dalam ekonomi. Ia bisa saja makan sepuas yang ia mau. Sejujurnya Vanna lebih suka diteraktir. Sebenarnya ini rezeki. Tapi demi apa kalo ia harus jadi pacarnya? Tampan iya. Tapi kelakuan? No. Vanna tidak suka. "Gimana?" Tawar Raffa. "Gue belum tau nama lo. " Mata Raffa sedikit melebar. Tak menyangka ada yang tidak mengetahui dirinya. Selang beberapa detik, Raffa mengganti ekspresinya itu. "Lo gak tau gue?" Vanna mengangguk. Demi lord, Raffa tak menyangka ada yang tak tau dirinya. "Yakin gak tau gue?" Tanya Raffa sekali lagi. "Yaiyalah. Gue baru pindah minggu lalu. Emang lo siapa? Artis aja bukan." Raffa mengangguk mengerti. Anak baru toh. "Kelas berapa lo?" "Sebelas. Nama gue Vanna." "Yang nanya nama siapa?" Raffa menahan tawanya melihat ekspresi Vanna karena kata-katanya. "Gue Raffa. Kalo gak tau juga tanya ke teman-teman lo." Vanna membulatkan matanya. Jadi ini Raffa? Yang sering jadi perhatian sekolah atas kelakuannya? Oh tidak. Dia sekarang terjebak dengan seorang berandalan. Tunggu. Vanna sekarang merasa tertantang. Kata Nadya, Raffa tiap hari berkelahi. Memangnya cowok itu sanggup seminggu tidak berkelahi? Ah ia ingin sekali tau. Kelemahannya mulai keluar. "Jadi?" Raffa menaikan satu alisnya. "Gue setuju." Dua kata itulah yang dikeluarkan Vanna tanpa ia proses dulu. Sudut bibir Raffa tertarik keatas. Cowok itu menyeringai lalu mengulurkan tangannya. "Deal?" Vanna membalas tangan Raffa dengan sedikit ragu. "Deal." Vanna tidak tau keputusannya ini akan mengubah kehidupannya. Ia hanya melihat sisi dakal, tetapi ia tidak tau jika ia akan terjerat dengan hatinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD