Bab 1

2034 Words
Tiga tahun sudah Dimas Hadiwijaya membina rumah tangga dengan Michiko Harada, wanita cantik asal  Jepang teman semasa kuliahnya dulu. Mereka berdua adalah pasangan serasi cantik dan tampan, sama-sama pintar serta memiliki segalanya. Banyak yang iri melihat mereka berdua.   Dimas, pria berusia 26 tahun itu merupakan pengusaha sukses di bidang pariwisata, hotel, restauran, cafe serta beberapa resort mewah tersebar di beberapa pulau di Indonesia.   Sementara sang istri memiliki usaha biro perjalanan wisata dengan nama Beauty travel yang tersebar di seluruh  penjuru tanah air. Semua aset mereka merupakan tambang uangnya yang tak pernah habis untuk tujuh turunan.   Sayangnya kebahagiaan pasangan suami istri ini belum lengkap karena Miko sampai detik ini belum bisa memberikan keturunan untuk menjadi penerus kerajaan bisnis yang mereka bangun. Padahal kurang berjuang apakah pasutri ini. Setiap malam mereka kerjasama untuk  bereproduksi. Berbagai usaha lainnya pun sudah dilakukan. Entah itu pengobatan tradisional ataupun konsultasi dengan dokter kandungan baik dalam maupun luar negeri. Entah berapa banyak dana yang dikeluarkan untuk program yang satu ini, namun Allah belum mengizinkan Miko melahirkan seorang bayi.   "Sayang kamu yang sabar ya. Kita akan usaha lagi. Siapa tahu nanti berhasil." Dimas menghibur istrinya yang tampak sedih. Walaupun tak diungkapkan Dimas dapat merasakan kepedihan hati bidadarinya itu. Dirinya pun merasakan hal yang tak jauh beda. Siapa pun pasti tak ingin berada dalam posisi mereka.   Keduanya baru saja tiba di kamar hotel usai kembali dari rumah sakit setelah melakukan konsultasi program bayi tabung mereka. Sayangnya mereka mengalami kegagalan. Kondisi rahim Miko bermasalah hingga harus mengalami keguguran untuk ke dua kalinya. Miko sempat di rawat selama seminggu.   "Kamu jangan bersedih terus, aku yakin suatu saat nanti Allah akan memberikan anak untuk kita." Dimas tahu istrinya pasti masih memikirkan masalah kehamilannya.   "Aku baik-baik saja kok! Aku sadar bahwa soal rezeki itu urusan Allah. Ini hanya soal waktu saja." Miko berusaha menghapus jejak  air matanya. Ia tidak boleh meratapi nasibnya. Jalan hidupnya masih panjang dan ia yakin masih ada peluang baginya untuk mengusahakan memiliki seorang anak yang diinginkan mereka. Ia akan tetap berjuang dan ikhtiar, walau dengan cara apapun. Mereka berdua masih sangat muda.   Dimas meraih tubuh istrinya lalu memeluknya erat. Hari-hari yang dilaluinya selama beberapa minggu ini cukuplah berat, namun sekali lagi ia sadar semua ini takdir Allah yang harus diterima dengan penuh keikhlasan, ketawakalan dan ketabahan.   "Kita istirahat! Hari sudah malam. Aku tak mau besok melihat mata kamu bengkak..Nanti cantiknya berkurang." Sambil menggigit cuping telinga istrinya,  Dimas mengajak istrinya ke atas ranjang.   "Ih,..geli," teriaknya.   Dimas terkekeh. Seandainya sang istri sedang dalam kondisi sehat, ia pasti akan menerjangnya. Salah satu hiburan paling menyenangkan adalah kegiatan ranjangnya. Obat sedih yang paling mujarab, itu menurut Dimas.   "Aku harus cuci muka dulu!"Miko menahan gerakan suaminya. Berusaha melarikan diri sebelum Dimas berbuat jauh. Dalam kondisi apapun ia akan ingat untuk menghapus make up nya. Miko sangat memperhatikan kesehatan kulit wajahnya agar tetap bersih dan mulus. Karena wajah yang kotor akan menimbulkan jerawat dan kulit kusam. Itu merupakan rahasia kecantikannya selama ini.   Wanita berambut sebahu itu pun berjalan menuju kamar mandi yang terletak di pojok kamar.   "Kamu sudah sholat?" Tiba-tiba Miko menahan langkahnya. Mengingatkan suaminya akan kewajibannya sebagai muslim.   "Sudah tadi." Dimas menjawab seraya mengatur posisi berbaringnya. Ia tampak sibuk membuka ponselnya.   Setengah jam kemudian, pasangan suami istri tanpa anak itu telah berbaring bersama di atas ranjang, saling berpelukan. Keduanya sebisa mungkin berusaha untuk melupakan masalah yang tengah terjadi. Mereka harus tidur cepat karena besok mereka akan melakukan penerbangan pagi.   Setelah berada di Singapura selama dua bulan akhirnya mereka memutuskan kembali ke tanah air untuk melanjutkan kehidupan mereka. Kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing. Sejenak melupakan hal buruk yang baru saja menimpa keduanya. Kehilangan calon anak yang sangat dinanti memang menyisakan luka yang membekas.   Berbagai rencana telah disiapkan oleh Dimas dan Miko saat tiba di Denpasar nanti, termasuk berlibur bersama ke sebuah tempat yang agak jauh dari keramaian. Hanya itulah yang menjadi pengobat mereka untuk menghibur diri melupakan masalah yang menimpa keduanya, melupakan kesunyian dan kesepian.   *** Hujan turun mengguyur kota Denpasar, Dimas yang tadinya ingin mengajak sang istri ke luar rumah untuk sekedar berjalan-jalan pun terpaksa membatalkan niatnya. Mereka malah asyik berada di kamar sambil mengobrol dan menonton salah satu tayangan televisi.   "Sayang, besok akan ada acara reuni teman SMA. Mereka mengundang kita untuk bergabung. Gimana kamu mau ikut?" Dimas menanyakan kesediaan istrinya. Ia khawatir jika istrinya telah memiliki agenda sendiri yang tak bisa diganggu. Ikut serta dalam sebuah reuni terkadang butuh kesepakatan dengan pasangan. Setelah menikah dan memiliki keluarga terkadang sulit mengatur waktu.   Semalam pria berusia 26 tahun itu mendapat panggilan mendadak dari salah seorang sahabat karibnya yang tinggal di Surabaya mengabarkan akan ada reuni kecil-kecilan. Tiga sahabatnya yang bernama Agus, Joko dan Tora akan berada di Bali untuk berlibur. Mereka membawa  serta anak dan istrinya.   "Boleh. Aku pasti ikut." Miko menyambut dengan antusias.  Kebetulan agenda Miko tidak terlalu sibuk. Ia pasti akan selalu hadir dalam berbagai kesempatan untuk mendampingi suami tercintanya.   "Acaranya dilakukan di Ubud. Kamu ingat Joko kan? Dia pindah ke Ubud sejak sebulan lalu. Sayangnya waktu itu kita sedang berada di Singapura, jadi aku belum sempat bertemu." Dimas memberikan kabar tentang teman lamanya yang bernama Joko.   "Iya." Miko tentu hafal satu per satu teman Dimas, apalagi sosok Joko, seniman yang terkenal sering ceplas ceplos. Bentuk fisiknya yang pas-pasan dibandingkan yang lain menjadi mudah dikenali.   "Acaranya diadakan di villa milik Joko." Dimas memberi tahu tentang lokasi acara.   ***   Esok harinya Dimas dan sang istri bersiap untuk segera berangkat ke Ubud. Tak lupa mereka membawa buah tangan untuk para sahabatnya. Kebetulan oleh-oleh dari Singapura masih tersimpan.   Usai menempuh perjalanan menggunakan mobil selama kurang dari satu jam, akhirnya mereka berdua tiba di tempat tujuan.   Kini keduanya berada di salah satu villa milik keluarga Joko. Sebuah villa berukuran kecil dengan pemandangan indah di kawasan pedesaan Ubud. Suasana sepi dan udara sejuk menyambut kedatangan mereka.   "Cari Mas Joko ya? mari saya antar." Seorang satpam bernama Darma  langsung mengantar ke  dalam area villa.   Di sana teman-teman Dimas tengah berkumpul dengan asyik. Suasana tampak ramai karena tiga teman Dimas datang bersama istri dan anak mereka yang rata-rata masih balita. Tentu saja suasana riuh memenuhi isi ruangan. Suara tawa dan tangis bergantian dalam waktu singkat. Para istri mereka tampak sibuk menenangkannya, di sekitar mereka ditemukan banyak mainan berserakan.   "Assalamualikum." Dimas mengucapkan salam begitu tiba di hadapan mereka. Pandangan semua tertuju ke arah ia dan istrinya.   "Waalaikumsalam." Salah seorang dari mereka menjawab dan langsung menyambutnya dengan berdiri.   "Akhirnya yang ditunggu datang." Pria bertubuh kurus dan berkaca mata bersuara sambil memeluk Dimas menyalurkan rasa rindu kepada sahabat lamanya.   "Apa kabar kalian?" Dimas bertanya kabar.   "Alhamdulillah baik." Pria tadi yang memiliki nama Tora kembali menjawab.   "Rame banget yah." Dimas memperhatikan ke sekeliling.   "Pasti lah banyak bocil. Dijamin rame banget." Joko, pria bertubuh gempal memberikan tanggapan sambil tertawa kecil.   Mereka pun bersalaman dan berpelukan melepas rindu karena hampir setahun tak berkumpul bersama. Sebenarnya Dimas sering bertemu mereka, sayangnya dalam beberapa kesempatan hanya bertemu salah satunya saja. Butuh mencari waktu yang tepat untuk dapat kumpul dan menghabiskan waktu bersama.   "Lo masih berdua saja? Jangan terlalu sibuk dong buruan bikin Dedek bayi! Biar rame kaya kita." Teman Dimas bernama Joko itu kembali berujar.   "Doain saja segera dikasih. Ini masih terus berjuang." Dimas berusaha tersenyum dan terlihat santai. Ia tak ingin terlihat lemah.   "Lihat tuh si Agus lagi nunggu anak kembarnya lahir. Heran deh subur banget istrinya padahal anak pertamanya saja belum satu tahun, eh bininya dah bunting lagi. Tajin banget tuh." Giliran Tora yang mencemooh pria bernama Agus yang sedari tadi sibuk menggendong anaknya yang masih bayi.   "Lo mesti berguru sama si Agus! Tanya resepnya. Bisa topcer kaya gitu." Bisik Joko memanasi.   Agus dan istrinya hanya tersenyum malu-malu menanggapi keduanya. Teman Dimas yang satu itu cukup kalem berbeda dengan Tora dan Joko yang selalu heboh. Bisa dibilang dialah teman yang paling cocok dengan Dimas karena mereka setipe. Dimas pun bukan sosok yang suka bercanda.   "Si Dimas tuh kurang olah raga, eh kasih obat penyubur kandungan atau obat kuat biar cepet dapet momongan. Lo kan bos jamu." Ucap Joko ke arah Tora yang memiliki pabrik jamu karena istrinya orang Solo. Sekali lagi Joko mengolok-olok Dimas. Keduanya pun terbahak, tampak istri Joko tersipu malu melihat tingkah suaminya.   Ia bahkan sampai memberikan cubitan untuk memperingati.   "Hush, dijaga omongannya dong Pi!"   Mendengar ocehan teman-temannya, sebenarnya Dimas tak enak hati dengan Miko. Wanita itu pasti tersindir dengan kondisinya saat ini. Sejak tadi Miko sepertinya tak nyaman walaupun ia tampak akrab dengan para istri sahabatnya itu.   Melihat para wanita itu sibuk membicarakan bayinya pasti Miko merasa sedih dan kembali teringat kondisinya yang tak seperti wanita normal kebanyakan.   Topik obrolan mereka pun dengan cepat berganti. Mereka membicarakan masalah bisnis dan pekerjaan yang sedang digeluti.   Miko sendiri bergabung dengan para ibu muda mengasuh anak mereka. Untungnya mereka sangat baik dan banyak memberikan motivasi agar Miko tetap bersabar dan semangat.   Pukul empat sore pasangan Dimas dan Miko pamit pulang lebih awal. Keduanya memang tak berencana menginap. Masih ada banyak urusan pekerjaan untuk esok yang harus segera diselesaikan. Selain itu sebetulnya Dimas juga merasa tak nyaman melihat istrinya yang tampak iri melihat para ibu muda mengasuh bayinya.   "Gue pulang duluan ya! Kalau ada waktu besok kalian mampir ke kantor!" Pamit Dimas kepada mereka semua.   "Siap!"   *** Dimas menyesali keputusannya untuk menghadiri acara reuni dengan para sahabatnya beberapa hari yang lalu. Sejak acara itu, ia sering melihat istrinya duduk termenung. Ia yakin Miko pasti memikirkan semua perkataan temannya.   Seperti kali ini walaupun pandangannya ke arah laptop, namun pikirannya entah kemana.   "Kamu sedang apa sih?" Dimas mendekati istrinya yang tengah membuka artikel tentang parenting di salah satu web.   "Baca." Miko menjawab pendek. Pertanyaan suaminya itu penuh basa basi. Sudah tahu malah bertanya.   Dimas terkekeh.   Melalui sudut matanya, Dimas melihat di samping laptopnya nampak sebuah buku bertema poligami. Untuk apa istrinya membaca buku tersebut. Seketika bulu kuduknya mendadak merinding.   "Buku apa ini?" Ia lantas meraihnya dan kembali meletakkannya ke posisi semula.   Miko tak ingin memberikan penjelasan. Dimas juga tak memaksa. Pria tampan itu malah menarik lengan istrinya.   "Yang, bikinin kopi dong!" Pintanya dengan nada maja yang dibuat-buat. Biasanya ia dan istrinya minum teh bersama, namun kali ini ia sedang butuh kafein.   "Oke." Miko berdiri hendak menuju dapur. Dimas langsung mengikuti dari arah belakang, mengekor seperti anak kucing.   Di dapur ia duduk di kursi rotan menunggu sang istri yang tengah menyelesaikan pesanannya.   Dengan lincah dan cekatan Miko meracik kopi untuk suaminya. Beruntung Dimas lebih suka yang praktis jadi tinggal menyeduh bubuk kopi, tak seperti keluarga Hadiwijaya lain yang ingin minum kopi yang berasal dari mesin pembuat kopi. Tentu saja akan memakan waktu yang cukup lama.   Miko sudah tahu selera Dimas yang suka dengan takaran gula yang lebih.   "Wow sedap dan mantap." Ia menghirup aromanya usai menerima cangkir kopi dari istrinya.   "Sebaiknya kamu kurangi kadar gulanya, kalau minum kopi tak perlu terlalu manis, bahaya buat kesehatan." Miko memperingati.   Wanita Jepang yang fasih bicara bahasa Indonesia itu terkadang merasa heran dengan kebiasaan suaminya.   "Aku usahain." Ia menjawab pendek. Setelah itu kembali menikmati kopinya tentu saja dengan rokoknya, Miko hanya bisa menghela nafas.   "Jangan-jangan karena kami ngopi dan merokok makanya kita susah punya anak." Satu pemikiran Miko membuat Dimas terdiam.   "Aku bukan pecandu dan hanya sesekali, menurut dokter kan ga masalah." Dimas terkekeh pelan. Ia selalu bisa membela diri.   "Ya sudah, kamu masuk ke kamar sana.!" Perintah Dimas. Tanpa disuruh pun Miko memang akan segera pergi. Asap rokok tak baik untuk kesehatannya.   **** Akhir minggu ini dihabiskan pasangan Dimas dan Miko dengan berada di rumah saja. Kebetulan Miko sedang menunggu kedatangan guru mengajinya. Guru spiritual yang mengajarinya banyak hal tentang dunia Islam. Ia baru empat tahun memeluk Islam sehingga masih banyak hal yang belum dipahaminya.   "Waalaikumsalam Umi," Miko menyambut kedatangan wanita berjilbab panjang itu. Ia mencium tangan wanita yang dihormatinya itu.   "Apa kabar? Maaf ya Umi dua bulan lebih libur." Miko memohon maaf.   "Alhamdulillah, saya sehat Mbak. Mbak dan Mas Dimas apa kabar kuga?" Umi Hamidah balik bertanya.   "Saya ingin menanyakan sesuatu kepada Umi?" Raut wajah Miko berubah serius.   "Ada apa ya Mbak?" Wanita berusia empat puluh itu bertanya dengan rasa ingin tahu.   "Saya ingin mendengar pandangan Umi tentang poligami." Miko mengungkapkan keinginannya.   Ia telah memikirkan masalah ini sejak dua minggu terakhir.   "Suami yang melakukan poligami itu harus adil kepada istri-istrinya. Tidak boleh berat kepada salah satu saja. Semua hak dan kewajiban harus sama dipenuhi. Jangan sampai ada yang tersakiti. Dalam ajaran agama kita poligami diperbolehkan asalkan memenuhi syarat di atas. Kalau tidak bisa adil cukup satu istri saja.  Bagi istri-istri mereka harus saling menghormati dan menghargai layaknya kakak adik. Saling menyayangi dan menjunjung pernikahan mereka. Butuh keikhlasan dari masing-masing pihak. Dan itu tidaklah mudah. Oh iya, kok Mbak bertanya masalah ini sih." Umi Hamidah penasaran   Miko yang sedari tadi menyimak, seketika merasa gugup.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD